Ruang redaksi tidak lagi menjadi tempat di mana para wartawan mengembangkan refleksi permasalahan kemanusiaan yang kompleks (C Gibbs dan T Warhover, 2002).
Berbagai masalah, khususnya yang menyangkut konflik, bencana, kecelakaan, dan sensasi, terlalu cepat dikategorikan dalam sekat-sekat alam pikiran yang sedang trendi.
Ada kebiasaan bila ingin memberitakan kejadian menjadi sesuatu yang "baru" dan "riil", perlu diberi angle yang menonjolkan konflik, drama, sosok penjahat atau korban. Lalu, agar tulisan tidak membosankan, ia harus dibuat singkat, datar, dan tidak bernuansa (U Haagerup, 2014).
Tentu bagi para wartawan profesional, situasi tersebut membuat frustrasi. Banyak wartawan hebat merasa lebih baik keluar, pindah atau menerbitkan media lain yang memberi ruang untuk penulisan dan peliputan kreatif.
Contoh menarik adalah keputusan Rob Orchard dan Marcus Webb, dua editor dari Time Out Dubai, untuk keluar dari koran populer itu dan pada 2011 menerbitkan majalah Delayed Gratification di Inggris.
"Dewasa ini, para wartawan terus dipecut untuk membuat breaking news di Twitter dan media sosial. Kami ingin memberi tempat perlindungan bagi wartawan agar punya waktu untuk menanggapi berita dan menemukan berbagai kisah yang tidak kelihatan saat berita pertama muncul," kata Orchard.
Delayed Gratification diterbitkan tiga bulan sekali dengan pendekatan jurnalisme perlahan. Setiap terbitan membahas isu tiga bulan yang lampau.
Nilai yang dianut adalah "being right above being first" : menjadi (pemberita) yang benar lebih utama ketimbang menjadi (pemberita) yang pertama.
Semoga dengan publikasi Dokumen Panama, media kembali ke nilai-nilai dasar mereka, seperti tercantum dalam kode etik jurnalistik.
H Witdarmono
Wartawan, penerbit media anak, tinggal di Jakarta