Mewah, karena waktu untuk menemukan, memberi makna, serta mengomunikasikan berbagai data dan sisi tersembunyi kejadian-Greeberg menyebutnya slow journalism-, sudah terlalu mahal.
Greenberg menganalogikan jurnalisme perlahan dengan gerakan internasional slow food yang dirintis Carlo Petrini (67) tahun 1980-an di Italia.
Kala itu, Petrini mengampanyekan pelestarian makanan, resep, dan cara masak lokal beserta penyajian tradisional yang butuh waktu panjang. Gerakan slow food adalah perlawanan terhadap fast food alias "makanan cepat saji".
Sesungguhnya, jurnalisme perlahan hanya menonjolkan beberapa aspek jurnalisme biasa yang sudah dilupakan.
Dalam pendekatannya, ia juga memiliki tujuan khusus, mengandalkan kerja sama, penelitian, investigasi, dan analisis terhadap berbagai jalinan informasi. Pendekatan semacam itu perlu waktu panjang dan berbiaya besar.
Dalam praktik, jurnalisme perlahan berkutat dengan kisah dari berbagai peristiwa sampingan berita (besar). Kisah-kisah itu dibangun dengan prinsip-prinsip sastra dan struktur naratif yang berlapis.
Kedalaman kisah menjadi sangat penting. Selain investigasi, analisis, dan pendapat para ahli, jurnalisme perlahan berusaha menggali cerita dari berbagai sudut pandang. Tujuannya, agar secara menyeluruh makna peristiwa dapat dipahami, bukan sekadar diketahui.
Salah satu contoh terbaik liputan jurnalisme perlahan adalah tulisan Joshua Hammer berjudul "The Real Story of Germanwings Flight 9525" di GQ Magazine (Inggris) edisi 22 Februari 2016.
Hammer mengisahkan Andreas Günter Lubitz, pilot Lufthansa yang pada 24 Maret 2015 sengaja menjatuhkan pesawat Airbus A320 Germanwings (anak perusahaan Lufthansa) Flight 9525 ke sisi Pegunungan Alpen di Perancis.
Semua penumpang, 144 orang, beserta lima awak pesawat, tewas. Kisah itu sangat mencekam.
Melalui usaha yang menyita waktu banyak serta tak kenal lelah, Hammer meneliti hampir semua sisi kehidupan Lubitz dan beberapa penumpang Germanwings Flight 9525. Pembaca hanya bisa diam tafakur selesai membaca tulisan Hammer.