Selain itu, Al-Habsi dan Jim juga dinilai sebagai individu yang memiliki kepribadian yang lunak dan terbuka berkomunikasi serta tidak berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah.
"Insya Allah, keberhasilan negosiasi ini sampai 80 persen. Kemungkinan besar mereka tidak mengetahui bahwa 10 sandera itu berasal dari Indonesia sehingga saya bisa memberikan pengertian kepada mereka," kata Umar yang pernah menjadi bagian dari 24 kelompok Abu Sayyaf dan berperang dengan pasukan gabungan Filipina dengan Amerika Serikat di Talayan, Pulau Sulu, Filipina, pada 2005.
Pada 2003, seorang WNI, Zulkifli, menjadi salah satu sandera Abu Sayyaf dan dibebaskan setelah mengetahui ia berasal dari Indonesia.
Lebih lanjut, Umar juga pernah membujuk pimpinan Abu Sayyaf terkait salah satu sandera, yaitu anggota Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Mary Jean Lacaba, yang bebas dari penyanderaan Abu Sayyaf pada April 2009.
Kala itu, ia meminta pimpinan Abu Sayyaf, Albader Parad, membebaskan Lacaba karena dalam hukum Islam dilarang menyiksa perempuan.
Selain itu, pada medio 2005, Umar pun menghilangkan tradisi penyiksaan terhadap tawanan tentara Filipina. Tradisi itu bertahan setidaknya hingga berakhirnya kepemimpinan dan wafatnya Albader pada 2010.
Negosiasi
Umar mengingatkan pemerintah agar tidak menganggap remeh batas waktu yang diberikan kelompok Abu Sayyaf.
Kini, Abu Sayyaf telah memberikan batas waktu kedua, yaitu 8 April, untuk memberikan uang tebusan 50 juta peso (Rp 14,3 miliar).
"Mereka melihat keseriusan tahap negosiasi dalam memberikan batas waktu. Apabila hingga batas waktu kedua belum ada langkah nyata untuk penebusan, jelang batas waktu ketiga mereka akan membunuh sandera," ujarnya.
Pembunuhan itu biasanya akan diunggah ke internet.
Dalam artikel "Radical Muslim Terrorism in Philippines" karya Rommel C Banlaoi yang terdapat dalam A Handbook of Terrorism and Insurgency in Southeast Asia (2009) terungkap bahwa upaya penyanderaan di wilayah laut dengan mematok tebusan jamak terjadi setelah Abu Sayyaf dipimpin Khadaffy Janjalani sejak 1998.
Hal itu disebabkan kurangnya ideologi dan kemampuan kepemimpinan Khadaffy. Ia menggantikan kakaknya yang tewas dalam serangan militer dan polisi Filipina, yaitu Abdurajak Abubakar Janjalani pada Desember 1998.