SINGAPURA, KOMPAS.com – Tak seperti di Indonesia, transportasi konvensional di Singapura hidup berdampingan dengan transportasi online.
Di beberapa sudut jalan yang notabene tempat pemberhentian angkutan, misalnya, orang juga bebas memilih kendaraan mana yang hendak dipakai, konvensional atau memesan online.
Di antara para sopir kendaraan itu, tak satu pun saling caci ketika ada yang lebih dulu mendapat penumpang. Begitu pula saat beberapa angkutan bersistem online menjemput satu dari penumpang yang menunggu itu, tak ada celetukan miring terlontar.
Kompas.com sempat menggunakan salah satu jasa layanan transportasi online saat bertugas meliput ke Singapura, Senin, (28/3/2016).
Taksi dalam jaringan Kompas.com pesan pada Senin malam, dengan rute dari Grand Hyatt, Orchard, menuju Merlion Park.
Dalam aplikasi pemesanan tertera informasi bahwa rute itu masuk kategori jarak tempuh pendek. Ongkosnya, 8 dollar Singapura atau kurang dari Rp 80.000 dihitung menggunakan kurs pada hari ini.
Mobil pesanan online datang tak lebih tiga menit dari waktu pemesanan. Kendaraan tersebut menyeruak dari antrean taksi yang sudah berderet menunggu penumpang di sekitar Grand Hyatt.
“Di sini, taksi konvensional dan taksi online penuh toleransi. Kami tak pernah bertengkar,” ujar Abdul Rashid Bin Kassim, si pengemudi mobil, dalam perjalanan pada malam itu.
Padahal, kata Rashid, transportasi online bisa jadi lebih laku daripada moda konvensional, seperti halnya di Indonesia, apalagi kalau sudah lewat tengah malam.
“Saat tengah malam, ada ongkos midnight untuk jasa transportasi konvensional. Karena itu, penumpang lebih suka naik taksi online,” ungkap Rashid.
Meski begitu, tak pernah ada komplain terkait soal itu. Terlebih lagi, ujar Rashid, ada regulasi dan hukum yang jelas bagi jasa transportasi online.
Kejelasan regulasi
Sistem transportasi online dinyatakan legal di Singapura per 1 Desember 2015. Namun, para penyedia aplikasi layanan transportasi ini harus memiliki sertifikat khusus yang diterbitkan Pemerintah sebagai izin pengoperasian layanannya.
Dalam peraturan yang berlaku, tercakup pula ketentuan soal tarif perjalanan hingga cara pemesanan. Dengan itu, ada standar yang dijalankan bersama.
Lalu, para sopir layanan transportasi online pun mesti lulus ujian lisensi dari Land Transport Authority (LTA), lembaga khusus yang bertugas mengatur seluruh pelayanan transportasi, baik kereta, bus, maupun taksi.
Lisensi ini dibuat untuk menentukan kepastian kualifikasi para pengemudi layanan transportasi online.
“Belum sepenuhnya diterapkan, karena baru empat bulan. Ya paling tidak, tiga bulan mendatang, semua sopir taksi online seperti saya sudah harus lulus uji lisensi,” imbuh Rashid.
Rashid pun mengatakan dia bukan sopir taksi penuh waktu. Sehari-hari ia bekerja juga sebagai karyawan kantoran. Menjadi sopir taksi, kata dia, dilakoni untuk mendapatkan tambahan pendapatan.
“Meski (kerja sampingan) begitu, saya tetap harus ambil lisensi. Tak ada perbedaan bagi yang freelance atau pun penuh waktu,” tegas Rashid.
Saat ini, ada beberapa layanan aplikasi jasa transportasi yang beroperasi di Singapura. Grab Taxi dan Uber Taxi yang menjadi sasaran protes di Indonesia, juga ada di sana selain MoobiTaxi, Karhoo, dan ConnexTaxi.
Bedanya dengan di Indonesia atau beberapa negara lain, di Singapura tak ada penolakan sejak awal kehadiran layanan taksi online tersebut.
Nah, kalau di Singapura bisa begitu, apakah di Indonesia tak bisa terjadi hal yang sama? Apakah perlu kita berguru juga ke Singapura untuk urusan yang ini?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.