Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/03/2016, 10:59 WIB

Disebut sebagai political dowry, praktik mahar politik bisa terjadi antarcalon untuk berbagai jabatan melalui pemilu dan juga antarpartai untuk membentuk koalisi.

Kehebohan pernah terjadi di Amerika Serikat saat Presiden George W Bush, yang maju sebagai calon presiden pada 2000 memilih Dick Cheney sebagai cawapres, disebut-sebut melibatkan praktik political dowry.

Di Korea Selatan, koalisi Aliansi Baru, gabungan tiga partai oposisi, pada 2015 diberitakan media terbentuk berkat generous political dowry dari pihak tertentu.

Political dowry disebut menghasilkan ”kawin kontrak” (marriage for convenience) dengan bulan madu di antara parpol berbeda yang (semula) memiliki kepentingan masing-masing.

Baik dalam konteks Indonesia maupun mancanegara, sangat sulit mengetahui persis proses atau modus operandi praktik mahar politik yang memunculkan ”politik mahar”.

Pemberi dan penerima tidak pernah mengungkapkan bagaimana kesepakatan mahar politik tercipta, berapa jumlah mahar politik, dan apa saja yang harus dipenuhi sang calon jika ia menang kepada donor dana atau parpol pendukungnya.

Dalam konteks terakhir, Ahok misalnya menyatakan tidak punya dana untuk mahar politik. Namun, hampir bisa dipastikan ada kalangan berduit yang bersedia membayarkan mahar politik.

Dengan tingkat elektabilitas sangat tinggi dibandingkan bakal calon lain, jika mau Ahok tidak sulit mendapatkan donor yang bermurah hati mendanai.

Gejala adanya donor murah hati di Indonesia juga selalu muncul dalam rumor politik sepanjang musim pileg, pilpres, dan pilkada.

Bahkan di Indonesia—seperti juga di Amerika Serikat—selalu ada donor dari kalangan korporasi yang memasang kakinya di semua calon. Siapa pun yang menang, donor tetap melekat dengan kekuasaan.

Politik mahar dan mahar politik jelas menimbulkan penyimpangan dalam demokrasi. Jika demokrasi adalah kepentingan rakyat, politik mahar membuat demokrasi lebih berorientasi pada pihak pemberi mahar, baik parpol maupun donor korporasi.

Karena itu, bisa diharapkan, pemegang jabatan publik yang terlibat politik mahar dan mahar politik cenderung mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan berbagai pihak terkait langsung daripada kepentingan publik.

Hasilnya, demokrasi gagal dalam meningkatkan kehidupan politik, juga dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Tak kurang pentingnya, mahar politik dan politik mahar memunculkan politik biaya tinggi—menjadi ”investasi” sangat mahal bagi setiap aspiran politik. Investasi perlu dikembalikan, dan ini mendorong merajalelanya korupsi.

Karena itu, perlu upaya serius dari berbagai pemangku kepentingan untuk memerangi praktik politik transaksional ini; misalnya perlu pengawasan lebih ketat atas keuangan dan pendanaan para calon dan parpol dalam pileg, pilpres, dan pilkada.

Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm (2007-2013) dan UNDEF New York (2006-2008)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

Nasional
PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

Nasional
Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Nasional
Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Nasional
Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com