Ada beberapa kemiripan. Kami sudah yakin. Lalu, kami undang Puslabfor Polri. Mereka datang, analisislah dengan alat yang mereka punya. Mereka kemudian menyampaikan rekomendasi.
Hasilnya, ini adalah patut diduga bukan yang asli. Bukan juga salinan. Karena kalau salinan, pasti ada yang menyalin, siapa, dan ada tanda tangan yang menyalin. Istilahnya diketik ulang saja.
Jadi, yang terakhir ini ketika kami yakin 99 persen, tetapi ketika diuji di Puslabfor, ini ternyata juga bukan yang asli. Patut diduga, karena kami sulit menyebut palsu akibat tidak ada pembandingnya. Jadi, ini patut diduga tidak asli.
Untuk dokumen yang dilacak Puslabfor, apa saja dasar menyebut tidak asli?
Ada beberapa dasar. Pertama, tanda tangan tidak dalam satu tarikan. Jadi, dikaji satu-satu. Itu dianalisis tanda tangannya, seperti stensilan, bukan tanda tangan asli.
Untuk dokumen ketiga dari Akademi Kebangsaan, dari mana asalnya?
Ini disebut ditemukan di petilasan Trowulan, pemakaman Majapahit. Yang bawa itu anak penunggu makam di sana. Waktu itu datang ahli spiritual Soeharto, katanya menyerahkan. Waktu itu kami sudah yakin, tetapi setelah analisis itu tidak asli.
Kertas ini menempel di tembok. Arsipnya ini ditempel di karton. Makanya rusak. Ditempel di dinding. Orang enggak begitu memperhatikan bahwa itu dokumen penting.
Katanya pernah cari sampai pesantren?
Banyak ya, rumor atau gosip. Ada yang di pesantren, ada di Singapura, ada di bank di Swiss. Ada juga yang menyebut disimpan di Mas Agung (pengusaha). Tetapi, setelah kami lacak, enggak benar.
Kami melakukan pelacakan intensif sejak 2000 hingga 2012. Sekarang masih lakukan pelacakan itu.
Kalau untuk dokumen yang dari Setneg, kapan itu diserahkan?
Itu tidak diserahkan. Ini dari semacam buku. Jadi tidak ada penyerahan. Itu sekitar 1995 atau 1996. Tidak jauh berbeda dengan Puspenad, yang diserahkan 1995.
Walaupun tiga ini tidak asli, tetap kami simpan. Disimpan dijadikan satu tempat di brankas dengan naskah teks proklamasi. Benar-benar kami jaga.