Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Airlangga Pribadi Kusman
Dosen Universitas Airlangga

Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga  

Associate Director Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC)  

 

Pilkada Jakarta dan Superman versus Batman

Kompas.com - 11/03/2016, 11:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho


Bulan Maret ini adalah salah satu momen penting yang saya tunggu selama hidup. Ini tidak terkait dengan momen politik, namun justru momen entertainment, momen hiburan.

Pada Maret ini akan ditayangkan sebuah film yang menghadirkan fantasi lamunan saya saat kecil, sebuah lamunan tentang dua superhero, idola masyarakat dan tempat warga kota bergantung ketika berhadapan dengan kekuatan para penjahat angkara murka saling bertemu untuk unjuk kekuatan dan membuktikan siapa yang terkuat diantara mereka.

Ternyata fantasi masa kecil ini menjadi kenyataan, kita akan disuguhi sebuah tontonan seru Film Superman versus Batman: Dawn of Justice. Dan saya berharap saya sempat menontonnya di bioskop dengan duduk manis ditemani popcorn dan soft drink.

Para pembaca jangan salah paham, tulisan ini bukanlah tentang entertainment yang mengulas kelebihan dan kelemahan dari dua superhero yang akan berlaga.

Artikel ini adalah adalah sebuah tulisan politik, karena saya melihat ada beberapa kesamaan yang tampak dalam cara kita memandang dunia politik, seperti saat kita menonton film superhero, salah satunya tentang politik ibukota Jakarta yang pada tahun depan akan menyelenggarakan prosesi Pemilihan Gubernur.

Saya melihat bahwa cara kita memandang dunia politik layaknya kerumunan warga dalam film-film superhero dan action, yang merasa marah atau terancam oleh perilaku penjahat durjana, dan menunggu kedatangan superhero yang jujur, penolong dan kuat untuk seorang diri memberantas segenap kejahatan.

Saat superhero itu datang dalam diri Ahok (atau Risma di Surabaya atau Ridwan Kamil di Bandung) - ataupun nama-nama lain seperti Yusril Ihza Mahendra atau Sandiaga Uno bagi mereka yang tak berselera dengan Ahok- kita menempatkan mereka sebagai “big other”.

Kita lantas menyerahkan nasib, hajat hidup dan keselamatan kita pada mereka dan mengelu-elukannya untuk memberantas kejahatan dalam bentuk korupsi, kolusi, nepotisme dan salah urus bernegara oleh para politisi.

Sementara itu ketika kita memasrahkan segenap urusan dan kepercayaan kita pada mereka, kita sebagai warganegara lupa merumuskan platform, mendesakkan tuntutan dan mengorganisir diri dalam kekuatan politik untuk mengintervensi perubahan.

Berbeda dengan film superhero, politik adalah soal kolektivitas dan partisipasi kolektif, bukan penyandaran pada pada nama besar pemimpin.

Problem Intelektual dan Media

Setelah hampir 18 tahun kita terlepas dari era otoritarianisme Soeharto, menggejalanya sindrom kepasrahan terhadap orang besar (big other) ini tumbuh berkembang-biak seiring dengan bagaimana tayangan dominan dan cara kalangan intelektual memproduksi realitas politik yang tersebar kepada publik.

Perkembangan realitas politik sebagai sebuah industri bisnis, pragmatisme kepentingan, dan demokrasi yang bergerak dalam logika pasar justru merawat dan melestarikan persoalan utama yang tumbuh dalam zaman otoritarian. Persoalan ketika figur dan tokoh diletakkan tinggi-tinggi peran dan posisinya melampaui warganegara.

Meskipun dalam diskusi publik dan akademik kita membaca dan membicarakan pentingnya warga dan masyarakat sipil untuk mengontrol hidup bernegara, namun realitas dominan berjalan dengan logikanya sendiri.

Logika bisnis dan industri politik yang berkembang di era demokrasi oligarkhi berjalan kongruen dengan bentuk-bentuk pengetahuan politik yang memaknai demokrasi sebatas pada memilih pemimpin melalui pemilihan umum yang jurdil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com