Logika pasar dan kepentingan jejaring bisnis-politik elite untuk sekedar menguasai institusi publik juga sejalan dengan cara pandang politik yang terbatas pada menjamurnya industri survey yang mengukur popularitas dan pencitraan politik.
Dalam atmosfer politik yang didominasi oleh tarikan gravitasi modal dan kekuasaan, politik tidak tumbuh sebagai cara pandang kritis untuk membongkar bagaimana realitas tercipta dari proses pertarungan sosial dan dominasi kekuasaan yang timpang.
Selama 16 tahun era post-authoritarianism, kita tidak belajar bahwa politik sebagai perjuangan bersama adalah soal bagaimana membangun basis sosial kolektif lintas sektoral, lintas kelas dan lintas golongan untuk mendorong perubahan bermakna.
Memang bahwa kita sudah menyadari ada yang salah dengan bagaimana arena politik ini terselenggara dan berjalan. Sebagian dari kita sudah muak dengan bagaimana politik tak lebih dimaknai sebagai panggung sandiwara dan pencitraan untuk menguasai dan menjarah institusi publik bagi kepentingan kelompok mereka.
Namun demikian, di balik kegeraman kita akan perilaku para politisi dan maneuver-manuver predatorisnya, cara kita memandang politik seperti cara warga Gotham City mengelu-elukan kehadiran Batman dalam memberantas kejahatan.
Kita melupakan bahwa tanpa melek politik dan kesadaran kritis untuk merumuskan agenda-agenda politik kota, maka seorang figur Batman seperti Ahok ataupun nama-nama lain seperti Yusril Ihza Mahendara ataupun Sandiaga Uno tidak terlepas dari kepentingan politik yang dapat bertentangan dengan hajat hidup warga miskin di Kota Jakarta.
Pangeran: Organisasi Kolektif
Dalam karya klasik politik yang banyak disalahpahami buah karya Machiavelli berjudul Il Principe, disebutkan bahwa dalam suasan saat negara menghadapi krisis, dibutuhkan hadirnya seorang pangeran yang membela dan dicintai oleh warga sekaligus disegani lawan-lawan politiknya.
Zaman demokrasi membutuhkan tampilnya pangeran yang tidak mewujud mewujud dalam figur personal melainkan organisasi-organisasi kolektif yang mampu merajut berbagai kepentingan sektoral dalam rumusan agenda politik perubahan. Sebuah organ yang tidak dipimpin oleh superhero di atas kita, namun digerakkan oleh kerja-kerja kita secara setara, duduk sama rendah berdiri sama tinggi.
Di tengah terseretnya partai-partai mapan sebagai instrumen pertahanan kemakmuran dan kekuasaan, kita membutuhkan hadirnya organisasi alternatif yang dalam perjalanannya sanggup bermetamorfosis menjadi partai politik baru.
Pangeran baru yang kehadirannya bukan sekedar menjadi kendaraan bagi superhero. Organisasi kolektif yang mampu menggugat dan menunjukkan berbagai persoalan krusial yang dihadapi oleh warga, seperti bahwa hak asasi orang-orang miskin yang tergurus harus diperjuangkan bukan dilibas.
Organisasi kolektif yang mampu menyoroti bahwa kepentingan investasi dan modal bukanlah panglima yang dapat meminggirkan kepentingan warga miskin Jakarta.
Tentu pula kita menolak hadirnya para politisi lain berlagak superhero, yang mengendap-endap mencari panggung di balik karakter rasistik maupun kepentingan golongan tertentu. Ketika kesadaran politik seperti ini sudah terbangun, maka ada harapan kita bahwa politik bukan lagi semata-mata soal masyarakat yang menonton, melainkan warga yang berpartisipasi.