Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korban Dianggap Sering Dilupakan dalam Pembahasan RUU Antiterorisme

Kompas.com - 08/03/2016, 19:27 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Suhariyono AR menilai, dalam membentuk revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, seringkali yang banyak dipikirkan adalah dari aspek pelaku.

Sedangkan, saksi dan korban kerap dilupakan.

Pada umumnya, kata dia, proses pengadilan berpusat pada pelaku dengan berbagai peraturan untuk menjamin hak-hak terdakwa. Sedangkan perlindungan saksi dan korban seringkali lemah.

"Sebagai renungan, kelemahan kita semua pada saat mengatur suatu RUU terutama terkait penegakkan hukum, proses peradilan. Selalu kita lupa atau sering mengesampingkan saksi dan korban," ujar Suhariyono dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (8/3/2016).

Kedudukan korban atau saksi yang sering dilupakan, kata dia, juga terlihat dari tidak adanya pengertian yang memadai tentang korban dan kompensasi yang tercantum dalam regulasi tersebut.

Padahal, korban dan pelaku memiliki kedudukan yang sama.

"Oleh karena itu, pada saat DPR menyusun paling tidak perlu diusulkan ada definisi mengenai korban, keluarga korban, restitusi, rehabilitasi. Pasal 36 sampai 42 perlu ditelaah kembali," kata dia.

Senada dengan Suhariyono, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, definisi korban dalam UU Terorisme masih tak mencantumkan definisi hak korban terorisme secara spesifik.

Dalam UU tersebut juga tak jelas siapa pihak yang bertanggung jawab atas bantuan dan pembiayaan medis.

Bantuan terhadap korban terorisme disebut sebagai bantuan yang diberikan oleh negara.

Menurut Surpriyadi, dalam konstruktsi peratura Menteri Kesehatan sebetulnya telah diatur bahwa tanggung jawab korban terorisme ada pada Menkes.

Namun, masih tak jelas berapa yang mereka jamin hingga kapan bantuan dibayarkan.

Padahal, ia menilai hal ini merupakan yang paling krusial karena semua pihak menunggu siapa yang bertanggung jawab penuh atas pembiayaan darurat medis.

"Jadi enggak ada yang mengeksekusi, siapa yang bertanggung jawab membayar. Sehingga korban terlunta-lunta," ujar Supriyadi.

"Untung kalau yang bom di Sarinah, cepat bereaksi dan tiga rumah sakit yang siap. Tapi itu kan masih serangan kecil. Kalau seperti Mariott, Kuningan kan gede," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com