Saya beruntung bisa berjumpa langsung dengan Grand Syaikh al-Azhar, Syaikh Ahmad Muhammad Ahmad Thayyeb, Kamis, 26 Februari 2016 di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat.
Sebagai alumnus Universitas al-Azhar, saya dan teman-teman alumni yang lain menyambut kedatangan Grand Syaikh dengan suka-cita.
Maklum, jejak keilmuan al-Azhar begitu nyata dalam diri kami. Bagi saya pribadi, khususnya, al-Azhar sangat berperan dalam napak-tilas pembentukan pemikiran keislaman saya.
Setelah lulus dari pesantren, saya langsung menimba keilmuan Islam, baik klasik maupun kontemporer dari Universitas al-Azhar. Saya belajar Filsafat Yunani, Filsafat Modern, Tasauf, Tafsir, Akidah, dan lain-lain dari al-Azhar.
Saat berjumpa Grand Syaikh, saya langsung memberikan buku saya, “Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan” kepada beliau. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada tahun 2010.
Saya sengaja menulis buku ini sebagai “tanda terima kasih” kepada al-Azhar yang telah membuka cakrawala pemikiran moderasi Islam.
Alhamdulillah, Grand Syaikh sangat senang dengan buku tersebut. Di tengah protokoler yang sangat ketat ala RI 1, beliau akhirnya menerima saya dan wartawan Harian Kompas untuk wawancara tentang peran al-Azhar dalam moderasi Islam, perdamaian, dan toleransi.
Saya penasaran ingin mendengarkan langsung dari Grand Syaikh perihal sikapnya tentang toleransi, khususnya toleransi di dalam internal umat Islam.
Menurut saya, toleransi di dalam internal umat Islam merupakan modal penting untuk membangun toleransi dengan umat agama-agama yang lain.
Jika umat Islam mampu saling menghormati dan saling menghargai di antara sesama mereka, saya yakin akan mudah memperluas horizon toleransi bagi umat agama-agama lain, keyakinan, bahkan bagi mereka yang tidak beragama sekalipun.
Grand Syaikh berpesan, bahwa salah satu cara membangun toleransi yaitu menghindari pengafiran (takfir). Tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengafirkan Muslim yang menghadap kiblat. Tidak dibenarkan bagi kaum Sunni untuk mengafirkan kaum Syiah.
Sebaliknya, tidak dibenarkan bagi kaum Syiah untuk mengafirkan kaum Sunni. Kedua mazhab ini harus mencari titik-temu dan saling memaklumi perbedaan.
Pengafiran merupakan ancaman bagi toleransi, karena dapat memecahbelah umat. Sesama Muslim mestinya saling menghormati dan saling menghargai, hidup berdampingan secara damai, dan tidak melakukan kekerasan di antara sesama Muslim.
Saat berjumpa dengan Majelis Ulama Indonesia, Grand Syaikh menegaskan bahwa Sunni-Syiah merupakan dua sayap Islam. Keduanya bersaudara.
Konflik sektarian antara Sunni-Syiah yang dihembuskan belakangan ini lebih bernuansa politis. Jauh sebelum isu sektarian ini mencuat ke permukaan, sebenarnya relasi Sunni-Syiah relatif kondusif.