Dalam berpolitik, tidak ada yang hitam banget atau putih banget. Selalu ada abu-abu. Tidak ada juga linier, selalu berliku. Tidak ada juga terkoneksi langsung, selalu ada garis yang terputus-putus.
Namun, kita dapat membaca rangkaian dari suatu fakta ke fakta lainnya. Dan, publik pun bisa mengambil kesimpulan atas hubungan antarfakta tersebut.
Jika suatu rencana tersistematis, terus-menerus, dan momentumnya selalu tepat atau bersamaan, rasanya sulit mencegah publik berpikir ada kaitan di antara rencana-rencana tersebut.
DPR boleh membantah, tetapi tentu tidak bisa mencegah publik berpandangan bahwa upaya pelemahan KPK tengah berlangsung.
Maka, tidak sulit juga melihat agenda revisi UU KPK sebagai permainan politik instan. Padahal pemberantasan korupsi adalah agenda utama reformasi sejak 18 tahun silam. Sejak bergulirnya rapat-rapat di DPR awal 2016, sikap partai politik berubah-ubah.
Awalnya cuma satu partai politik yang menolak revisi UU KPK. Partai Gerindra adalah satu-satunya partai yang konsisten menolak revisi sejak awal. Belakangan Partai Demokrat mengikuti, dan kemudian Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Politisi parpol-parpol lain juga mulai memperlihatkan tanda-tanda melunak, walaupun sebelumnya ngotot ingin revisi UU KPK.
Kali ini PDI-P -- motor koalisi pendukung pemerintah -- bersikap lain. Sekarang ngotot banget ingin merevisi UU KPK. Padahal di masa lalu saat menjadi opisisi, PDI-P selalu menolak rencana revisi UU tersebut. Sayangnya saat menjadi partai pemerintah justru menjadi penggerak revisi UU KPK.
Mungkinkah ini ada kaitan dengan kasus pertemuan Ketua Abraham Samad dan elite PDI-P Hasto Kristiyanto, terutama menjelang pilpres 2014? Mungkin "iya", mungkin juga "tidak".
Saat itu KPK dinilai tidak steril dari politik. Persoalan KPK harus bersih dari ingar-bingar politik memang harus ditegakkan.
Dalam jajak pendapat Kompas, Senin (22/2), terlihat publik juga berpendapat KPK belum bebas dari kepentingan politik kelompok (63,1 persen).
KPK memang tidak boleh nyerempet-nyerempet politik. Karena itu, KPK harus dijaga. Para komisionernya juga menyadari betul agar tidak salah melangkah. Semua organ internalnya pun harus benar-benar mengawasi. Mereka yang memanfaatkan KPK, harus dicegah dan tentunya diberi sanksi sesuai hukum.
Namun menjaga KPK juga tanggung jawab kita semua, termasuk partai politik. Kalau parpol malah ikut mencolek KPK, misalnya mewacanakan mengusung pimpinan KPK untuk menjadi calon pimpinan nasional, itu malah mencederai KPK. Partai justru bisa dianggap biang keladinya.