Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memperkuat Pelemahan KPK

Kompas.com - 16/02/2016, 06:19 WIB

Memperkuat vs melumpuhkan

Pertanyaan mendasar, apakah revisi UU No 30/2002 memenuhi klausul "revisi harus memperkuat KPK" dapat dijelaskan dari empat butir utama yang akan dijadikan materi perubahan? Jika penjelasan keempat substansi perubahan memang menguatkan KPK, tidak kuat alasan meneruskan rencana revisi UU No 30/2002. Namun, jika yang terjadi mengarah ke pendulum berlawanan, rencana revisi mesti dihentikan dan tidak perlu dibawa ke sidang paripurna.

Pertama, pembentukan dewan pengawas KPK. Jamak dipahami, salah satu basis argumentasi menciptakan "institusi baru" berupa lembaga pengawas KPK didasarkan pada pengalaman dan kecurigaan selama ini. Pokok kecurigaan, munculnya penilaian bahwa dalam melaksanakan wewenangnya, KPK sangat mungkin melakukan tindakan di luar ketentuan UU No 30/2002. Bilamana hendak ditelusuri, kecurigaan ini berada di sekitar penggunaan wewenang KPK dalam penyadapan. Karena pandangan demikian, lembaga pengawas KPK dibentuk menjadi institusi yang akan mengontrol penggunaan wewenang penyadapan.

Secara sederhana, alasan yang didasarkan pada kecurigaan tersebut sepertinya masuk akal. Namun, jika dilacak pengalaman penggunaan wewenang penyadapan KPK, tidak terdapat bukti valid yang menunjukkan KPK pernah menyalahgunakan wewenang tersebut. Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, keinginan membentuk lembaga pengawasan KPK dapat dikatakan sebagai bagian dari strategi memata-matai operasi senyap KPK dalam melacak pergerakan penikmat perilaku koruptif.

Kedua, pengaturan wewenang penyadapan (dan penyitaan) yang memerlukan izin dewan pengawas. Soal ini, pilihan membatasi wewenang penyadapan dengan cara memerlukan izin dewan pengawas berpotensi melumpuhkan langkah penindakan KPK. Potensi melumpuhkan KPK bisa dilacak dari menggelindingnya keinginan penyadapan dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dewan pengawas. Disadari atau tidak, syarat komulasi tersebut jelas akan melumpuhkan KPK karena model penyadapan yang dipraktikkan KPK selama ini terbukti sangat ampuh dalam melacak para pencoleng uang negara.

Banyak kalangan percaya, sekiranya cara berpikir untuk mengatur penyadapan tetap diteruskan, KPK akan mengalami kelumpuhan, terutama dalam tindakan operasi tangkap tangan. Karena itu, pada banyak kesempatan, saya selalu mengingatkan, mereka yang sejak awal berencana merevisi UU KPK target sesungguhnya adalah membonsai wewenang penyadapan. Bagaimanapun, selama wewenang penyadapan tidak dibatasi, KPK tetap leluasa "menelusuri" semua kalangan yang berada di episentrum penikmat perilaku koruptif.

Karena itu, bagi sebagian pihak yang amat terganggu dengan penyadapan KPK, mengatur begitu rupa wewenang penyadapan jadi target utama. Artinya, jika rencana pembatasan tetap diteruskan, KPK tidak hanya akan mengalami kelumpuhan, tetapi juga kehilangan mahkotanya sebagai institusi yang ditempatkan sebagai extra-ordinary dalam desain besar pemberantasan korupsi. Dengan demikian, rencana revisi UU No 30/2002 dengan salah satu target utamanya melakukan pembatasan wewenang penyadapan menjadi strategi paling melumpuhkan KPK.

Ketiga, menambahkan wewenang KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Sama dengan kedua usul di atas, penambahan wewenang KPK untuk menerbitkan SP3 sangat mungkin beranjak dari pengalaman sebelumnya, yaitu sangat mungkin KPK keliru dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebagaimana di institusi penegak hukum yang lain, SP3 menjadi instrumen menghentikan penyidikan.

Bagi KPK, sebagai lembaga yang sejak awal didesain memiliki kewenangan luar biasa, juga harus disertai aturan yang memaksa lembaga ini bertindak superhati-hati. Ketiadaan kewenangan menerbitkan SP3 merupakan instrumennya. Jika kelak pembentuk UU membuka ruang tersebut, justru pembentuk UU secara tak sadar malah menurunkan standar KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Apalagi mekanisme praperadilan dapat digunakan untuk menilai sah atau tidaknya penetapan status tersangka.

Keempat, memberikan wewenang bagi KPK mengangkat penyidik independen. Secara jujur harus diakui, mungkin hanya wewenang ini yang berpotensi memenuhi koridor untuk memperkuat KPK. Apalagi selama ini memang terjadi perdebatan yang tidak berkesudahan ihwal keinginan KPK merekrut penyidik sendiri di luar penyidik dari polisi dan jaksa. Merujuk bentangan empirik, KPK memang memerlukan penyidik yang direkrut sendiri.

Namun, perlu dicatat, tanpa revisi atas UU No 30/2002, KPK masih dimungkinkan merekrut penyidik sendiri. Sekiranya dilakukan penafsiran sistematis terhadap Pasal 43, 45, dan 51 UU No 30/2002 yang mengatur soal penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK, maka KPK dimungkinkan merekrut sendiri. Dari ketentuan itu, pengaturan secara spesifik hanya pada posisi penuntut umum yang merupakan jaksa penuntut umum. Aturan terkait siapa yang dapat jadi penuntut umum tentu kembali kepada pengaturannya, yakni UU tentang Kejaksaan.

Misalnya, Pasal 45 UU No 30/2002 menyatakan: penyidik adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Dengan adanya frase "diangkat dan diberhentikan oleh KPK", secara kelembagaan KPK dapat mengangkat penyidik yang berasal dari kepolisian dan yang tidak berasal dari kepolisian. Apalagi tak ada ketentuan yang eksplisit menyatakan bahwa penyidik harus berasal dari polisi dan jaksa sebagaimana penegasan soal penuntut umum yang secara eksplisit dinyatakan dari jaksa penuntut umum.

Berdasarkan penjelasan di atas, empat butir utama materi revisi UU No 30/2002 sangat terang tidak memiliki alasan untuk memperkuat KPK. Bahkan, rencana itu dapat dikatakan jadi semacam ancaman sistematis untuk melumpuhkan KPK. Karena itu, dari empat butir substansi perubahan, pendapat yang muncul ke permukaan bahwa revisi UU No 30/2002 dimaksudkan untuk memperkuat KPK ternyata jauh dari kebenaran. Kemungkinan yang akan terjadi, empat butir revisi tersebut justru makin berpotensi memperkuat upaya pelemahan KPK.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 24 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 24 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Polri Sebut Mayoritas Judi Online Dioperasikan dari Mekong Raya

Polri Sebut Mayoritas Judi Online Dioperasikan dari Mekong Raya

Nasional
KPK Sadap Lebih dari 500 Ponsel, tetapi 'Zonk' karena Koruptor Makin Pintar

KPK Sadap Lebih dari 500 Ponsel, tetapi "Zonk" karena Koruptor Makin Pintar

Nasional
Polri Sebut Bandar Judi “Online” Akan Dijerat TPPU

Polri Sebut Bandar Judi “Online” Akan Dijerat TPPU

Nasional
Pimpinan KPK Sebut OTT 'Hiburan' agar Masyarakat Senang

Pimpinan KPK Sebut OTT "Hiburan" agar Masyarakat Senang

Nasional
Dapat Banyak Ucapan Ulang Tahun, Jokowi: Terima Kasih Seluruh Masyarakat Atas Perhatiannya

Dapat Banyak Ucapan Ulang Tahun, Jokowi: Terima Kasih Seluruh Masyarakat Atas Perhatiannya

Nasional
Polri: Perputaran Uang 3 Situs Judi Online dengan 18 Tersangka Capai Rp1 Triliun

Polri: Perputaran Uang 3 Situs Judi Online dengan 18 Tersangka Capai Rp1 Triliun

Nasional
Menag: Tidak Ada Penyalahgunaan Kuota Haji Tambahan

Menag: Tidak Ada Penyalahgunaan Kuota Haji Tambahan

Nasional
Polri Tangkap 5.982 Tersangka Judi 'Online' Sejak 2022, Puluhan Ribu Situs Diblokir

Polri Tangkap 5.982 Tersangka Judi "Online" Sejak 2022, Puluhan Ribu Situs Diblokir

Nasional
KPK Geledah Rumah Mantan Direktur PT PGN

KPK Geledah Rumah Mantan Direktur PT PGN

Nasional
Imbas Gangguan PDN, Lembaga Pemerintah Diminta Tak Terlalu Bergantung

Imbas Gangguan PDN, Lembaga Pemerintah Diminta Tak Terlalu Bergantung

Nasional
Soroti Vonis Achsanul Qosasi, Wakil Ketua KPK: Korupsi Rp 40 M, Hukumannya 2,5 Tahun

Soroti Vonis Achsanul Qosasi, Wakil Ketua KPK: Korupsi Rp 40 M, Hukumannya 2,5 Tahun

Nasional
Polri Akui Anggotanya Kurang Teliti saat Awal Pengusutan Kasus 'Vina Cirebon'

Polri Akui Anggotanya Kurang Teliti saat Awal Pengusutan Kasus "Vina Cirebon"

Nasional
Tanggapi Survei Litbang Kompas, Istana: Presiden Konsisten Jalankan Kepemimpinan Merakyat

Tanggapi Survei Litbang Kompas, Istana: Presiden Konsisten Jalankan Kepemimpinan Merakyat

Nasional
Kemensos: Bansos Tak Diberikan ke Pelaku Judi Online, Tetapi Keluarganya Berhak Menerima

Kemensos: Bansos Tak Diberikan ke Pelaku Judi Online, Tetapi Keluarganya Berhak Menerima

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com