oleh: Saldi Isra
KOMPAS - Di tengah gelombang penolakan, mayoritas kekuatan partai politik yang tergabung di Badan Legislasi DPR menyetujui naskah revisi Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari 10 kekuatan politik di DPR, hanya Fraksi Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang secara tegas menolak naskah revisi hasil kerja badan legislasi itu.
Dengan adanya kesepakatan mayoritas tersebut, karya Badan Legislasi DPR hanya tinggal menunggu pengesahan rapat paripurna menjadi rancangan UU usul inisiatif DPR. Ketika hanya dua partai politik yang tidak setuju dengan revisi UU No 30/2002 tentang KPK, banyak kalangan berpandangan bahwa pengesahan dalam rapat paripurna hanya sebatas pemenuhan kebutuhan formalitas belaka.
Namun, karena terjadi pergeseran sikap beberapa kekuatan politik setelah penetapan Badan Legislasi, langkah mendapatkan persetujuan dalam sidang paripurna terpaksa ditunda hingga minggu depan. Artinya, pergeseran ini memberi ruang untuk memperdebatkan lebih dalam ihwal bagaimana sesungguhnya implikasi rencana revisi UU No 30/2002 terhadap masa depan institusi KPK dan sekaligus masa depan agenda pemberantasan korupsi.
Sebelum sidang paripurna terlaksana, akan jauh lebih baik jika substansi revisi UU No 30/2002 ditelaah kembali secara mendalam. Ihwal ini, bagaimana sejatinya empat substansi revisi: (1) keinginan pembentukan dewan pengawas KPK; (2) penyadapan dan penyitaan yang memerlukan izin dewan pengawas; (3) pemberian wewenang bagi KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan; dan (4) pengangkatan penyidik independen dalam koridor "revisi harus memperkuat KPK"?
Dasar utama menggeser ke substansi revisi perubahan disebabkan pengalaman pengujung pada 2015. Ketika itu publik memiliki alasan untuk mempersoalkan dan menggugat revisi UU No 30/2002 karena rencana tersebut tidak termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Saat ini jelas berbeda: perubahan UU KPK tercantum sebagai salah satu dari 40 daftar rencana legislasi dalam Prolegnas 2016.