JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi meyakini bahwa dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino menyebabkan kerugian negara.
Berdasarkan dokumen jawaban atas gugatan praperadilan yang diajukan Lino, KPK mengacu pada rumusan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi.
Isinya menjelaskan bahwa adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
"Dengan demikian, maka timbulnya akibat kerugian keuangan negara tidak perlu nyata terjadi, namun cukup didukung oleh bukti-bukti yang mengarah pada adanya potensi kerugian Negara yang dapat dihitung," demikian kutipan jawaban KPK dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (19/1/2016).
KPK pun mengutip pendapat sejumlah ahli. Salah satunya pendapat ahli hukum pidana, Romli Atmasasmita.
Romli menyatakan bahwa majelis hakim seharusnya mengartikan unsur ‘dapat merugikan keuangan negara' dalam konteks delik formil.
"Oleh karena itu, kerugian negara secara nyata tidak diperlukan selama didukung oleh bukti-bukti yang mengarah adanya potensi kerugian negara," ucap Romli, sebagaimana dikutip dalam dokumen jawaban KPK.
Dengan demikian, KPK menyimpulkan bahwa timbulnya akibat tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan negara tidak harus nyata-nyata telah terjadi.
Namun, ini cukup dibuktikan dengan adanya potensi terjadinya kerugian keuangan negara yang dalam perkara a quo telah terpenuhi pada saat penyelidikan.
Meski begitu, dalam jawaban atas gugatan Lino, KPK tidak menyebutkan jumlah kerugian negara yang ditimbulkan.
Untuk menghitung kerugian negara, KPK tidak hanya berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
KPK juga bisa berkoordinasi dengan instansi lain dan bisa membuktikan sendiri dengan mengundang ahli.
Dalam proses penyelidikan, KPK menemukan potensi kerugian keuangan negara berdasarkan perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ahli tersebut menyatakan bahwa analisis estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton.
Kemudian, eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu kontrak dari produsen yang sama menunjukkan perbedaan sekurang-kurangnya 3.625.922 dollar AS.