Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Menerima Perbedaan

Kompas.com - 17/12/2015, 15:09 WIB

Jarak pandang, cara baca

Menarik, pendapat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir di acara Maarif Institute pada Agustus lalu.

Zaman modern yang gaduh saat ini membuat orang ingin kembali kepada hal yang sublim, kepada agama.

Jalannya berbeda-beda dan tergantung pada jarak pandang dalam melihat sesuatu. Mereka yang jarak pandangnya dekat, hanya akan menemukan serpihan-serpihan ilmu yang membuat Islam menjadi eksklusif.

Pernyataan Haedar itu tepat, jika dikaitkan dengan bagaimana kelompok intoleran pun merujuk dan mengutip kitab suci untuk menghalalkan kekerasan.

Metode yang akurat untuk membaca kitab suci Al Quran dan hadis, menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Amin Abdullah, adalah problem sosial dan akademik terbesar umat Islam.

Cara baca kitab suci bisa secara qira'ah taqlidiyyah (tekstual dan semi tekstual), bisa juga secara qira'ah tarikhiyyah-ilmiyyah (kontekstual). Cara baca tekstual membentuk aliran, kelompok, dan mazhab.

Qira'ah taqlidiyyah ini tanpa sadar menggiring cara baca yang bercorak kelompok aliran pemikiran dan golongan sosial. Para pembaca mengikuti para pendahulunya.

Adapun cara baca kontekstual mempertimbangkan sungguh-sungguh dinamika sejarah dan sosial budaya secara cermat keilmuan.

Tidak hanya berhenti di situ, tetapi juga dilandasi semangat untuk memprioritaskan tujuan utama beragama.

Kedua corak bacaan ini berdampak pada pembentukan hubungan sosial di internal umat Islam serta eksternal dengan dunia luar. (Amin Abdullah dalam Fikih Kebinekaan, penerbit Maarif Institute dan Mizan, 2015).

Cara baca boleh berbeda, asal jangan saling ganggu. Menjadi persoalan ketika perbedaan cara baca kitab suci itu lantas melahirkan sikap intoleran.

Pengajar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Jakarta, Novriantoni Kahar, menyebut hal itu sebagai penyebab laten intoleransi.

Lembaga pendidikan yang kurang menunjang semangat toleransi dan wawasan umat beragama yang umumnya masih looking inward (melihat ke dalam), juga menjadi akar intoleransi. Ditambah lagi dengan kurangnya komitmen dan wawasan para pemimpin lokal dan nasional dalam menyikapi kasus intoleransi.

"Ada lagi sebab manifes atau hal yang membuat intoleransi menjadi aksi, salah satunya pembiaran ujaran kebencian. Kalau pun ada tindakan, sasarannya hanya terhadap kelompok yang lemah," kata Novri.

Negara belum hadir

Ketua Umum Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Ahmad Junaidi mencatat, tidak ada perbedaan berarti dalam penanganan kasus-kasus intoleransi, meski pemerintahan berganti.

Kekerasan sesama pemeluk Islam, terutama terhadap Syiah, diperkirakan akan berlanjut, jika melihat kasusnya yang meningkat belakangan ini.

Ia menilai, banyak pejabat pada pemerintah daerah yang masih belum berani menerjemahkan spirit toleransi pada Nawacita yang digaungkan Presiden Joko Widodo.

Hal senada dikatakan Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron. Banyak menteri tidak bisa menjalankan Nawacita.

Sejauh ini, negara belum hadir melindungi kelompok minoritas, termasuk minoritas agama. Kelompok minoritas belum mendapatkan penikmatan atas regulasi dan kebijakan yang ada.

"Tidak usah bicara 'aliran impor'. Kita punya agama etnis, seperti Sunda Wiwitan, Kaharingan, Parmalin, yang tidak mendapatkan pelayanan," katanya.

Menurut Novri, unsur-unsur elite turut memperkeruh suasana dengan menyewa kelompok penyuka kekerasan untuk tujuan-tujuan tertentu serta berkompromi politik dengan organisasi intoleran untuk tujuan yang tidak mulia.

"Intelijen negara perlu bekerja keras untuk mendeteksi potensi munculnya intoleransi. Kalau sudah dapat info akan ada aksi, jangan bengong sehingga terjadi kasus di Tolikara dan Aceh Singkil," katanya.

Di tengah deraan kasus intoleransi, indeks toleransi di 94 kota di Indonesia yang disiarkan Setara Institute, terasa menyejukkan.

Mayoritas kota di Indonesia masih masuk kategori kota toleran. Kondisi itu bisa dimanfaatkan sebagai modal sosial untuk menghadapi masalah intoleransi, bahkan di dunia internasional.

Jangan sampai harapan pada 2016 kembali redup, seperti pepatah langit runtuh, bumi telah terbang. Jangan! (Susi Ivvaty)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Belajar Menerima Perbedaan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri Hormati Langkah Pihak Pegi Setiawan Ajukan Praperadilan

Polri Hormati Langkah Pihak Pegi Setiawan Ajukan Praperadilan

Nasional
Prabowo Mangkir Panggilan PTUN soal Gugatan Bintang 4, Pilih Hadiri Penyematan Bintang Bhayangkara Utama Polri

Prabowo Mangkir Panggilan PTUN soal Gugatan Bintang 4, Pilih Hadiri Penyematan Bintang Bhayangkara Utama Polri

Nasional
Respons Gerindra dan PAN Saat Golkar Sebut Elektabilitas Ridwan Kamil di Jakarta Menurun

Respons Gerindra dan PAN Saat Golkar Sebut Elektabilitas Ridwan Kamil di Jakarta Menurun

Nasional
Gerindra Tak Paksakan Ridwan Kamil Maju di Pilkada Jakarta

Gerindra Tak Paksakan Ridwan Kamil Maju di Pilkada Jakarta

Nasional
Rangkaian Puncak Haji Berakhir, 295 Jemaah Dibadalkan

Rangkaian Puncak Haji Berakhir, 295 Jemaah Dibadalkan

Nasional
Gerindra: Memang Anies Sudah 'Fix' Maju di Jakarta? Enggak Juga

Gerindra: Memang Anies Sudah "Fix" Maju di Jakarta? Enggak Juga

Nasional
Alasan Polri Beri Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo: Berjasa Besar

Alasan Polri Beri Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo: Berjasa Besar

Nasional
Kuota Tambahan Haji Reguler Dialihkan ke Haji Plus, Gus Muhaimin: Mencederai Rasa Keadilan

Kuota Tambahan Haji Reguler Dialihkan ke Haji Plus, Gus Muhaimin: Mencederai Rasa Keadilan

Nasional
Polri Klaim Penyidik Tak Asal-asalan Tetapkan Pegi Setiawan Jadi Tersangka Pembunuhan 'Vina Cirebon'

Polri Klaim Penyidik Tak Asal-asalan Tetapkan Pegi Setiawan Jadi Tersangka Pembunuhan "Vina Cirebon"

Nasional
Menkominfo Janji Pulihkan Layanan Publik Terdampak Gangguan Pusat Data Nasional Secepatnya

Menkominfo Janji Pulihkan Layanan Publik Terdampak Gangguan Pusat Data Nasional Secepatnya

Nasional
Terdampak Gangguan PDN, Dirjen Imigrasi Minta Warga yang ke Luar Negeri Datangi Bandara Lebih Awal

Terdampak Gangguan PDN, Dirjen Imigrasi Minta Warga yang ke Luar Negeri Datangi Bandara Lebih Awal

Nasional
Kapolri Sematkan Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo

Kapolri Sematkan Tanda Kehormatan Bintang Bhayangkara Utama ke Prabowo

Nasional
Dihukum 6 Tahun Bui, Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan Pertimbangkan Kasasi

Dihukum 6 Tahun Bui, Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan Pertimbangkan Kasasi

Nasional
KPK Periksa Pengusaha Zahir Ali Jadi Saksi Kasus Pengadaan Lahan Rorotan

KPK Periksa Pengusaha Zahir Ali Jadi Saksi Kasus Pengadaan Lahan Rorotan

Nasional
Kominfo Masih Berupaya Pulihkan Gangguan Pusat Data Nasional yang Bikin Layanan Imigrasi Terganggu

Kominfo Masih Berupaya Pulihkan Gangguan Pusat Data Nasional yang Bikin Layanan Imigrasi Terganggu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com