Bagi peneliti komunikasi politik Effendi Gazali, poin pertama yang disampaikan Merlyna sudah menjelaskan mengapa "gemuruh" di dunia maya soal MKD belum bisa berubah jadi "kopi darat".
Kasus MKD amat kompleks karena bisa menimbulkan banyak faksi di ranah offline maupun di dunia maya.
Di satu sisi ada yang membela Sudirman. Sudirman dianggap sebagai pengungkap kasus (whistle blower) dugaan pelanggaran etika oleh Novanto yang diduga meminta sesuatu dari PT Freeport Indonesia (FI) dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
Di sisi lain, kata Effendi, ada pula yang menyerang Sudirman karena khawatir ada kepentingan tertentu di belakangnya.
Lebih kompleks lagi, ada yang mempertanyakan, apakah motivasi Presiden Direktur PT FI Maroef Sjamsoeddin merekam pembicaraannya dengan Novanto benar demi kepentingan bangsa Indonesia.
Ada pula faksi yang melihat kasus ini sebagai pertarungan sejumlah media yang pemiliknya punya pandangan politik berseberangan.
"Makin kompleks sebuah kasus, makin terbelah faksinya, makin lama pula aktivisme daring bisa jadi offline," katanya.
Hal ini memang berbeda dari narasi kasus-kasus aktivisme daring yang sukses di dunia maya dan offline.
Untuk kasus kriminalisasi KPK, narasinya sederhana; yakni antara KPK sebagai korban dan pihak lain sebagai "pelaku" kriminalisasi.
Masyarakat dengan mudah menangkapnya dalam fenomena biner; hitam dan putih. Apalagi, seperti ditulis Merlyna, dalam kasus KPK, "si korban" bisa dengan mudah diasosiasikan sebagai "kita" orang- orang biasa.
Jika kasus MKD dianalisis dalam perspektif serupa, publik sulit mencari siapa yang jadi korban untuk dibela dan siapa pelaku yang harus dilawan karena banyak narasi muncul.
Sebagian besar netizen memang menilai Novanto melanggar etika, tetapi siapa yang menjadi korbannya?
Jika Presiden dan Wapres ditempatkan sebagai "korban", tak mudah mengasosiasikannya sebagai "kita" dan kemudian perlu dibela. Ini karena Presiden dan Wapres dinilai publik punya kekuasaan.