Interaksi sipil dan militer mengenal tiga elemen: (1) bertukar informasi kapasitas, (2) membangun tim kerja dan pelatihan bersama lintas sektor sipil dan militer, (3) menyusun program bersama.
Secara universal dikenal dua tipe misi militer dan sipil bekerja sama. Dalam misi kemanusiaan disebut humanitarian action, sedangkan misi politik negara disebut military action.
Pengerahan kekuatan militer jadi kewenangan keputusan politik otoritas sipil yang berdaulat, yang lingkup penugasan militer pada area stabilisasi dan rekonstruksi krisis.
Kapabilitas sipil sangat dominan dalam interaksi sipil dan militer. Area profesi sipil berkembang pesat tampak dari berbagai aspek, seperti penguasaan teknologi hardware dan software, medis, legal, manajemen lingkungan, ekonomi bisnis, dan teknologi informasi.
Peran militer bersifat ultima ratio, bukan penentu akhir, melainkan menjadi elemen utama negara untuk menyelamatkan dan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara pada kondisi krisis.
Oleh karena itu, penugasan perlu kejelasan batas waktu dan skala penugasan. Militer profesional menjalankan misi berpegang pada prinsip netral dan imparsial.
Spektrum kerja sama
Perlu kemauan politik untuk merumuskan konsep strategi terintegrasi operasionalisasi kerja sama sipil dan militer dalam manajemen krisis. Para teknokrat profesional sipil bekerja sama dengan personel militer dalam suatu misi gabungan merespons krisis.
Faktor dominan kontrol parlemen dan arahan strategis dalam regulasi diperlukan untuk melegitimasi kerja sama ini.
Dalam era masyarakat madani, masa kini dan mendatang, kerja sama sipil dan militer menempati ruang yang luas. Indonesia sudah membangun peta jalan kerja sama mutualistis dan merevitalisasi peran militer.
Tentunya kita tak bisa berhenti, bahkan diharapkan terus dilakukan optimalisasi dan sistematika oleh negara.
Kita tak boleh terkendala faktor psikologis dan traumatis, tetapi lebih bijak memandang perlunya integrasi nasional menghadapi tantangan masa depan.