Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bom Paris dan Ancaman Teror di Indonesia

Kompas.com - 17/11/2015, 18:03 WIB

Trauma sejarah

Dengan kompleksitas peta politik di atas, rasanya tidaklah cukup bagi dunia Barat jika melihat Islam sebagai sebuah agama "lain" yang terus dianggap sebagai ancaman. Islam telah berada di Eropa sejak abad ke-8 dan masuk ke Amerika Utara sejak abad ke-16 ketika para budak dari Afrika dibawa ke benua ini. Islam telah menjadi salah satu pilar peradaban Barat seperti halnya Kristen dan Yahudi.

Richards Bulliet, sejarawan dari Universitas Colombia, menulis Islam adalah "peradaban terbuka" (open civilization). Hal ini ditandai munculnya fenomena "Muslim selatan" pada periode 1.300-1.900. Pada masa itu terjadi gelombang orang dari wilayah Barat, Afrika Selatan, India utara, Banglades, Asia Tenggara, dan juga Tiongkok yang masuk Islam. Menurut Bulliet, fenomena ini menunjukkan adanya gerakan migrasi Muslim ke Barat yang punya corak keislaman berbeda. Ironisnya, suara mereka ini jarang didengar dunia Barat yang seolah-olah terus merawat imajinasi Islam yang konservatif dan puritan seperti dikembangkan gerakan Wahabi di Arab Saudi yang juga didukung Barat.

Jihad "freelance"

Tak dapat dimungkiri, sebagian Muslim di negara Islam bersikap curiga terhadap Barat. Sikap ini biasanya ditandai dengan penolakan kebijakan luar negeri mereka. Namun, penolakan ini tidaklah menunjukkan hubungan "sebab akibat", tetapi harus dibaca sebagai "trauma sejarah". Lebih dari separuh abad hingga hari ini, jika masih dianggap menguntungkan dunia Barat, para presiden atau raja di negara-negara Islam, meski mereka diktator, akan didukung Barat.

Oleh karena itu, jika kemudian balasan dari serangan Paris ini adalah koalisi Barat melawan IS dengan melakukan operasi militer besar-besaran, Barat sejatinya telah masuk dalam jebakan narasi besar IS, yaitu "koalisi Barat melawan Islam" yang akan membangun simpati kelompok yang awalnya menentang IS. Narasi besar ini telah IS bangun secara sistematis di dunia maya melalui pasukan IS di Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube kepada jutaan anak muda yang haus aksi jihad di dunia, termasuk di Indonesia. Mereka ini lebih banyak menghabiskan waktu online daripada offline.

Serangan di Paris bukan tidak mungkin akan memantik mereka untuk bergerak melakukan aksi di Indonesia karena juru bicara IS, Al-Adnani, sejak tahun lalu telah mengeluarkan fatwa untuk melakukan serangan terhadap musuh-musuh IS di mana pun mereka berada. Di saat yang sama, masih minim upaya negara dan masyarakat sipil menangkis narasi IS itu. Hari ini kelompok jihad di Indonesia terpecah antara yang mendukung dan yang menolak IS. Hal ini justru akan mendorong munculnya fenomena jihad freelance, yaitu munculnya kelompok kecil yang muak dengan perbedaan pendapat di antara para senior, sedangkan mereka tidak bisa pergi ke Suriah. Kelompok ini memilih memisahkan dari organisasi lama dan berdiri sendiri dengan tokoh baru dan berbeda dari mulai pola, target, ketahanan, logistik, hingga personel.

Noor Huda Ismail
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Bom Paris dan Ancaman Teror di Indonesia".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com