Menulis dengan perspektif
Di negeri ini, manakala musim hujan tiba, bencana kekeringan dihentikan oleh alam.
Karut-marut pejabat publik di kawasan terlanda kebakaran dan asap juga akan mereda, dan otomatis karut-marut pemberitaan pers pun akan berhenti.
Nanti, ganti soal banjir. Percayalah. Begitu biasanya. Kita biasa terantuk ke batu yang sama berkali-kali.
Dari sini bisa dilihat bahwa dinamika yang berlangsung adalah dari alam, yaitu adanya kejadian ekstrem berupa asap pekat. Untuk itu perlu dilihat langkah pejabat publik, baru kemudian pemberitaan.
Kalau jurnalis dituntut untuk menulis dengan perspektif kesejarahan, sementara pejabat publik hanya blusukan saat peristiwa kritis, kemudian cukup membuat keputusan momentum bak "problem shooter", dengan sendirinya liputan berperspektif kesejarahan tidak ada artinya. Paling banter menumbuhkan kesadaran pada publik pembaca betapa abainya pejabat publik kita.
Untuk pencitraan, pejabat publik dapat merancang adegan bersama warga yang hidupnya tragis, dan juga membuat keputusan cepat untuk mengatasi masalah kritis. Efek kesegeraan suatu keputusan mendongkrak popularitas.
Akan tetapi, berbagai fenomena tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan publik bersifat momentum.
Mengatasi kebakaran di kawasan masif dengan membeli pesawat terbang penyemprot api merupakan contoh keputusan jangka pendek ala "problem shooter".
Memadamkan kebakaran memang perlu secepatnya, selain berdoa agar musim hujan di Indonesia dan kawasan sumber asap disegerakan oleh Tuhan.
Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah melihat secara komprehensif seluruh permasalahan yang menyebabkan berulangnyakebakaran masif ini.
Kita tidak mendengar bahwa Presiden RI selaku chief executive officer pemerintahan mengumpulkan kepala daerah dari kawasan sumber tragedi untuk sekaligus dihadapkan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna mengurai problem yang bersifat sistemik.
Apakah ada, siapa yang tahu di mana ditempatkan "ruang operasi" guna mengatasi tragedi ini?