Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bencana Asap di Negeri Keledai

Kompas.com - 14/11/2015, 15:36 WIB

Oleh: Ashadi Siregar

JAKARTA, KOMPAS - Satu kali, Kompas membuat judul "Penyelamatan Flora dan Fauna: Tragedi Jerebu, Petaka Hayati" (30 Oktober 2015, halaman 20). Istilah "jerebu" dikenal di kawasan berbahasa Melayu (Deli, Riau, Semenanjung Malaya).

Jerebu bukan sekadar asap, tetapi termasuk di dalamnya partikel debu arang yang memerihkan mata dan mengganggupernapasan. Jerebu pada dasarnya bersumber dari kebakaran yang bersifat masif.

Bagi masyarakat yang terkena dampak, sangatjelas sebutan jerebu betul-betul sebagai penghancur kehidupan manusia, dan seluruh sumber daya hayati umumnya akibat kebakaran di area yang luas.

Dalam melihat pemberitaan media pers, pada dasarnya berfokus pada dua aspek, yaitu fenomena fisik asap, dan langkah mitigasi.

Peralihan sebutan bencana ke tragedi bagi koran Kompas tentunya membawa perubahan paradigma dalam menghadapi fakta.

Bencana (alam) diartikan sebagai peristiwa yang tidak terelakkan, sementara tragedi adalah akibat yang melanda manusia dari suatu peristiwa ekstrem, baik karena alam (tak dapat dihindari)atau perbuatan manusia.

Kedua sebutan itu,bencana maupun tragedi, bersifat konotatif. Denotasinya adalah kebakaran di kawasan tertentu dan asap pekat di wilayah yang jauh lebih luas.

Penyebab kebakaran dapat berupa kekeringan dari El Nino. El Nino boleh dipersalahkan, tetapi masalah mendasar tetaplah kebakaran yang masif.

Adapun fakta kepekatan jerebu ini ada parameternya berupa indeks standar pencemaran udara (ISPU) yang mencakup pengukuran kuantitas zat berbahaya, seperti karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, danozon.

Fenomena asap yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, belakangan di Papua, bagi koran Kompas dilihat pada efek berupa tragedi kemanusiaan.

Untuk itu Kompas menggunakan sebutan "Tragedi Asap" untuk rubrik liputan khusus beritanya. Dengan diksi yang dramatis ini tentunya diharapkan dapat menggugah pembaca.

Persoalannya, apakah tragedi kemanusiaan masih dapat menggugah pengusaha korporasidan pejabat publik di kawasan penyebab fenomena asap pekat?

Menulis dengan perspektif

Di negeri ini, manakala musim hujan tiba, bencana kekeringan dihentikan oleh alam.

Karut-marut pejabat publik di kawasan terlanda kebakaran dan asap juga akan mereda, dan otomatis karut-marut pemberitaan pers pun akan berhenti.

Nanti, ganti soal banjir. Percayalah. Begitu biasanya. Kita biasa terantuk ke batu yang sama berkali-kali.

Dari sini bisa dilihat bahwa dinamika yang berlangsung adalah dari alam, yaitu adanya kejadian ekstrem berupa asap pekat. Untuk itu perlu dilihat langkah pejabat publik, baru kemudian pemberitaan.

Kalau jurnalis dituntut untuk menulis dengan perspektif kesejarahan, sementara pejabat publik hanya blusukan saat peristiwa kritis, kemudian cukup membuat keputusan momentum bak "problem shooter", dengan sendirinya liputan berperspektif kesejarahan tidak ada artinya. Paling banter menumbuhkan kesadaran pada publik pembaca betapa abainya pejabat publik kita.

Untuk pencitraan, pejabat publik dapat merancang adegan bersama warga yang hidupnya tragis, dan juga membuat keputusan cepat untuk mengatasi masalah kritis. Efek kesegeraan suatu keputusan mendongkrak popularitas.

Akan tetapi, berbagai fenomena tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan publik bersifat momentum.

Mengatasi kebakaran di kawasan masif dengan membeli pesawat terbang penyemprot api merupakan contoh keputusan jangka pendek ala "problem shooter".

Memadamkan kebakaran memang perlu secepatnya, selain berdoa agar musim hujan di Indonesia dan kawasan sumber asap disegerakan oleh Tuhan.

Akan tetapi, yang tidak kalah penting adalah melihat secara komprehensif seluruh permasalahan yang menyebabkan berulangnyakebakaran masif ini.

Kita tidak mendengar bahwa Presiden RI selaku chief executive officer pemerintahan mengumpulkan kepala daerah dari kawasan sumber tragedi untuk sekaligus dihadapkan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna mengurai problem yang bersifat sistemik.

Apakah ada, siapa yang tahu di mana ditempatkan "ruang operasi" guna mengatasi tragedi ini?

Mengatasi secara sistemik tentulah perlu melihat fakta secara komprehensif. Pertama, secara fisik dapat dilihat dengan foto satelit sebaran kebakaran. Lebih jauh, area ini perlu diidentifikasi komposisi kawasan terbakar, seberapa luas dan di mana saja kawasan pertanian rakyat, konsesi hak guna usaha (HGU) korporasi, dan hutan negara/adat.

Media pers, kalau mau, tentunya mampu mendapatkan peta area kebakaran secara fisik dari sumber pengelola satelit cuaca.

Berbeda dengan komposisi penguasaan area sumber asap pekat, yang hanya dapat diperoleh pers jika pengambil keputusan memang punya data dimaksud.

Sejak awal peta yang menggambarkan komposisi penguasaan area terbakar ini seharusnya sudah dibuka kepada publik, dan dari sini langkah penindakan dapat dijalankan.

Tindakan tentunya berbeda terhadap obyek-obyek sesuai dengan karakteristik kategori penguasaan area.

Melihat akar masalah

Saya membayangkan, akan lebih berguna manakala saat blusukan ke daerah terdampak Presiden Joko Widodo meminta pejabat setempat dan Menteri LHK memperlihatkan atau memaparkan peta area sumber kebakaran dan luasan terdampak, sekaligus menunjukkan komposisi penguasaan area.

Akan sangat bernas manakala media pers ikut memberitakan komposisi area terdampak, dan di situ Presiden memerintahkan membekukan seluruh konsesi korporasi yang abai sehingga areanya terbakar secara masif.

Berita semacam itu jauh lebih bernilai untuk pencitraan ketimbang menghadapkan warga Suku Anak Dalam dengan "pakaian" aslinya kepada sang Rajo.

Yang terjadi, media sosial sibuk mempersoalkan pencitraan ala "pertemuan" dengan warga Suku Anak Dalam, sementara media arus utama berusaha menjelas-jelaskan keotentikan adegan. Padahal, bukan di situ duduk soalnya.

Blusukan kebakaran bersifat mikro dan keputusan bersifat momentum, tidak akan menyelesaikan masalah secara sistemik.

Akar permasalahan adalah perlunya regulasi yang ketat dan konsekuen dalam hal pemberian konsesi penerokaan hutan kepada korporasi.

Instruksikan korporasi memadamkan kebakaran di area konsesinya. Kelalaian yang mengakibatkan kerugian besar harus ditindak.

Berikutnya, segera bangun sistem pengairan lingkungan (eko-hidro) di hutan lahan gambut dengan prioritas di area pertanian rakyat dan hutan negara/adat.

Kalau tidak masuk dalam APBN tahun berjalan, presiden tentu punya kewenangan mengalihkan anggaran, kalau perlu menghentikan bikin jalan tol.

Penanggulangan kebakaran yang menyebabkan jerebu itu mendesak, karena senantiasa berulang. Memangnya mau jadi keledai?

Ashadi Siregar
Peneliti media dan pengajar jurnalisme pada Yayasan LP3J

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Bencana Asap di Negeri Keledai".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

Nasional
Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Nasional
PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com