Mengatasi secara sistemik tentulah perlu melihat fakta secara komprehensif. Pertama, secara fisik dapat dilihat dengan foto satelit sebaran kebakaran. Lebih jauh, area ini perlu diidentifikasi komposisi kawasan terbakar, seberapa luas dan di mana saja kawasan pertanian rakyat, konsesi hak guna usaha (HGU) korporasi, dan hutan negara/adat.
Media pers, kalau mau, tentunya mampu mendapatkan peta area kebakaran secara fisik dari sumber pengelola satelit cuaca.
Berbeda dengan komposisi penguasaan area sumber asap pekat, yang hanya dapat diperoleh pers jika pengambil keputusan memang punya data dimaksud.
Sejak awal peta yang menggambarkan komposisi penguasaan area terbakar ini seharusnya sudah dibuka kepada publik, dan dari sini langkah penindakan dapat dijalankan.
Tindakan tentunya berbeda terhadap obyek-obyek sesuai dengan karakteristik kategori penguasaan area.
Melihat akar masalah
Saya membayangkan, akan lebih berguna manakala saat blusukan ke daerah terdampak Presiden Joko Widodo meminta pejabat setempat dan Menteri LHK memperlihatkan atau memaparkan peta area sumber kebakaran dan luasan terdampak, sekaligus menunjukkan komposisi penguasaan area.
Akan sangat bernas manakala media pers ikut memberitakan komposisi area terdampak, dan di situ Presiden memerintahkan membekukan seluruh konsesi korporasi yang abai sehingga areanya terbakar secara masif.
Berita semacam itu jauh lebih bernilai untuk pencitraan ketimbang menghadapkan warga Suku Anak Dalam dengan "pakaian" aslinya kepada sang Rajo.
Yang terjadi, media sosial sibuk mempersoalkan pencitraan ala "pertemuan" dengan warga Suku Anak Dalam, sementara media arus utama berusaha menjelas-jelaskan keotentikan adegan. Padahal, bukan di situ duduk soalnya.
Blusukan kebakaran bersifat mikro dan keputusan bersifat momentum, tidak akan menyelesaikan masalah secara sistemik.
Akar permasalahan adalah perlunya regulasi yang ketat dan konsekuen dalam hal pemberian konsesi penerokaan hutan kepada korporasi.
Instruksikan korporasi memadamkan kebakaran di area konsesinya. Kelalaian yang mengakibatkan kerugian besar harus ditindak.
Berikutnya, segera bangun sistem pengairan lingkungan (eko-hidro) di hutan lahan gambut dengan prioritas di area pertanian rakyat dan hutan negara/adat.
Kalau tidak masuk dalam APBN tahun berjalan, presiden tentu punya kewenangan mengalihkan anggaran, kalau perlu menghentikan bikin jalan tol.
Penanggulangan kebakaran yang menyebabkan jerebu itu mendesak, karena senantiasa berulang. Memangnya mau jadi keledai?
Ashadi Siregar
Peneliti media dan pengajar jurnalisme pada Yayasan LP3J
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Bencana Asap di Negeri Keledai".