Menepis kekerasan kultural
Asumsi kekerasan kultural dalam konteks ini, hemat saya, tidaklah tepat. Kekerasan kultural (Galtung, 1990) merupakan suatu tindakan mengubah "warna" moral kebiasaan yang sebelumnya berwarna merah (dianggap buruk) ke warna hijau (dianggap baik). Misalnya, dalam suatu masyarakat tindakan mencuri padi milik tetangga dianggap salah.
Namun, hal ini diubah oleh pemerintah melalui kebijakannya bahwa mencuri padi milik tetangganya tak dipermasalahkan (dianggap benar).
Adakah unsur paksaan di dalamnya? Ya,kekerasan kultural memang akan selalu mengandung unsur paksaan dan biasanya berasal dari pihak yang memiliki kekuasaan.
Berpijak pada konsep di atas, tindakan Presiden Jokowi bukanlah wujud dari kekerasan kultural, melainkan sebuah negosiasi. Terlebih lagi, warga suku Anak Dalam berkesempatan meminta syarat di dalam negosiasi tersebut.
Hal ini tecermin dari kutipan dialog yang berlangsung di antara presiden dan masyarakat suku Anak Dalam.
Dalam interaksinya itu (Kompas, 3/11/2015)Presiden menanyakan apakah mereka mau tetap tinggal di rumah atau nomaden lagi.
"(Mereka menjawab) Mau (tinggal di rumah), tetapi dengan syarat, jarak rumah agak jauh. Lalu ada lahan."
Apakah dengan menetap mereka tidak dapat lagi berburu, berkebun, atau menjalankan aktivitas sosial-ekonomi lainnya?
Mereka dapat melakukan kegiatan itu meski memiliki hunian atau rumah tetap selama seluruh darat belum ditenggelamkan oleh laut.
Hal itu bisa dilakukan selama kondisi ekologi masyarakat suku Anak Dalam terjaga dan mendukung untuk melakukan aktivitas sosial-ekonomi seperti halnya leluhur mereka.