LONDON, KOMPAS.com — Pengajar politik di SOAS University of London, Dr Michael Buehler, angkat bicara soal kontroversi tulisannya yang bertajuk "Waiting in The White House Lobby" di situs New Mandala.
Di dalam sebuah wawancara dengan radio BBC Indonesia di London, Inggris, Buehler membantah bahwa dirinya mengatakan jasa lobi itu digunakan untuk mempertemukan Presiden Indonesia Joko Widodo dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama.
"Supaya menjadi sangat jelas, tidak ada dalam artikel saya, bahwa lobbyist digunakan untuk memfasilitasi pertemuan antara Presiden RI Joko Widodo dengan Presiden AS Barack Obama," ucap Buehler.
Dia mengungkapkan, media-media di Indonesia yang salah menafsirkan hal itu. (Baca: Menlu: Presiden Obama yang Undang Presiden Jokowi Untuk ke Gedung Putih )
Buehler mengaku, di dalam artikelnya di New Mandala, hanya disebutkan bahwa ada kontrak di mana seseorang memberikan uang kepada Pareira Limited di Singapura ke perusahaan R & R Partners di Las Vegas.
Pembayaran itu terkait dengan jasa konsultasi kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat.
Setelah tulisannya menjadi perdebatan hangat di Indonesia, Buehler mengaku sama sekali belum dihubungi secara pribadi oleh pihak kedutaan Indonesia di London.
Namun, dia meyakini bahwa dokumen yang dimilikinya benar. Dia mendapatkan dokumen yang mengungkap kontrak itu dari Departemen Kehakiman AS.
Dokumen itu pun, sebut Buehler, bisa diakses oleh semua orang karena berada di domain publik.
Pertanyaan Baru
Sejumlah pejabat di Indonesia langsung bereaksi atas tulisan yang dibuat Buehler itu. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi membantah adanya pembaran jasa lobbyist untuk mempertemukan Presiden Jokowi dengan Obama.
Atas bantahan dari Menlu RI itu, Buehler mengungkapkan hal tersebut justru membuat pertanyaan baru. (Baca: Menlu Bantah Pertemuan Jokowi Dengan Barack Obama Pakai Jasa Lobi )
"Kalau Indonesia sudah tegas membantah perusahaan lobi digunakan. Maka pertanyaannya siapa yang menggunakan Pareira international di Singapura? Karena yang perlu dipahami, kalau Anda masukkan dokumen ke Departemen Kehakiman di AS, dan dokumen itu salah atau buat pernyataan yang salah atau mencakup misrepresentasi, bisa dihukum lima tahun," papar Buehler.
"Jadi kalau Pemerintah Indonesia menyatakan tidak pernah menggunakan konsultan, maka siapa yang bayar konsultan itu dan kenapa konsultan di Singapura itu berpura-pura bekerja atas nama Pemerintah Indonesia?" lanjut Buehler.
Buehler mengaku telah menerima banyak pesan elektronik hingga komentar di media sosial yang mengkritik hingga menyerangnya secara pribadi atas tulisan tersebut.
Dia berharap dirinya tidak dianggap sebagai musuh bagi Indonesia. (Baca: Dubes AS Bantah Ada Lobi Perusahaan di Pertemuan Jokowi-Obama )
Pasalnya, Buehler menegaskan bahwa dirinya adalah seorang akademisi yang memiliki perhatian terhadap politik, pemerintahan, korupsi, hingga transparansi di Indonesia.
"Saya tidak tertarik dengan politik berpihak atau keuntungan politik. Saya tidak tertarik untuk menjadi bagian dari politik Indonesia, jadi ada upaya untuk keluar dari debat sebenarnya tentang transparansi di Indonesia," ungkap Buehler.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.