JAKARTA, KOMPAS.com - Kelompok Relawan Pro-Jokowi (Projo) mendukung penerbitan Surat Edaran (SE) Kapolri tentang Ujaran Kebencian.
Projo menilai, SE tersebut hanyalah sebuah acuan penegakan hukum yang sudah diatur dalam aturan hukum internasional dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Surat Edaran Kapolri tersebut sekadar menterjemahkan aturan-aturan hukum yang ada, agar menjadi acuan bagi para anggota Polri. SE Kapolri tersebut tidak memuat larangan atau ancaman pidana baru," ujar Ketua Umum Projo Arie Budi Setiadi, melalui siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (5/11/2015).
Menurut Budi, Pasal 20 ayat 2 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, sebenarnya telah melarang adanya ujaran kebencian. (baca: Surat Edaran "Hate Speech" Dinilai Dapat Lumpuhkan Demokrasi)
Pasal tersebut menyatakan, segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.
Sedangkan, instrumen hukum nasional yang melarang ujaran kebencian adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Budi mengatakan, ujaran kebencian adalah tindakan yang mengancam kesatuan dan persatuan bangsa. (baca: SE "Hate Speech" Dikhawatirkan Bangun Rasa Takut Publik)
Hal itu berbahaya jika dibiarkan, karena bisa menimbulkan konflik sosial politik dan bentuk penyalahgunaan kebebasan bereskpresi. Ujaran kebencian jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
"Bukan hanya Indonesia, negara-negara demokratis lain juga memidanakan para penyebar kebencian. Bahkan, di Eropa, memakai simbol Nazi saja sudah dikategorikan sebagai penyebar kebencian," kata Budi.
SE Kapolri terkait Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech menuai pro dan kontra.
Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti sebelumnya menganggap, perbedaan pendapat terkait surat edaran yang diterbitkannya sebagai sesuatu yang wajar. (Baca: Kapolri: Surat Edaran "Hate Speech" Justru Beri Kepastian Hukum)
Badrodin mengimbau masyarakat agar tidak khawatir dengan penerapan SE Kapolri Nomor SE/06/X/2015 itu. Sebab, surat tersebut justru akan memberikan kepastian proses hukum.
"Sekarang misalnya sampeyan mendapat suatu hujatan di media sosial, terus apa yang sampeyan lakukan? Ke mana akan mengadu? Apa akan diselesaikan sendiri? Atau dilaporkan ke polisi? Kan lebih bagus kalau dilaporkan ke polisi, kita bisa mediasi," ujarnya.
"Kita tetap menghargai dan melindungi hak asasi orang lain," ujarnya. (Baca: Kapolri: Pelaku "Hate Speech" Diproses Supaya Tidak Bisa Sewenang-wenang)
Seperti dikutip Kompas, dalam surat edaran yang ditandatangani Kapolri pada 8 Oktober 2015 tersebut, jejaring media sosial menjadi salah satu sarana yang dipantau terkait penyebaran ujaran kebencian ini. (Baca: Pasca-Edaran Polri Terkait Ujaran Kebencian, Warga Harus Ekstra Hati-hati di Media Sosial)
Sementara itu, aspek yang dianggap dapat menyulut kebencian juga tak terbatas pada suku, agama, ras, etnis, dan golongan. Aspek mengenai warna kulit, jender, kaum difabel, hingga orientasi seksual juga menjadi perhatian dalam surat edaran ini.
Dalam surat edaran disebutkan, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. (baca: Kapolri: SE "Hate Speech" Itu Bukan Regulasi, Kenapa Harus Dicabut?)
Bentuknya antara lain penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.
Tujuan ujaran kebencian adalah untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas. Aspeknya bisa meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seks.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.