JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo khawatir, Surat Edaran Kapolri terkait Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech akan membangun rasa takut publik.
Terutama, ketika publik hendak menyampaikan kritik atas kinerja pemerintah.
"Sebab, SE Kapolri itu bisa saja dimaknai sebagai bentuk lain dari pendekatan keamanan untuk membungkam kebebasan masyarakat mengemukakan pendapatnya," kata Bambang dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/11/2015).
Meski begitu, surat edaran itu masih dapat diterima sepanjang tidak digunakan sebagai alat politik untuk mengekang kebebasan berpendapat. (baca: Surat Edaran "Hate Speech" Dinilai Dapat Lumpuhkan Demokrasi)
Oleh karena itu, politisi Partai Golkar itu meminta, agar Polri membuat rumusan yang jelas dan tegas untuk membedakan makna kritik dan ujaran kebencian.
"Sangat penting bagi Polri untuk membuat rumusan yang jelas dan tegas dalam membedakan makna kritik dengan fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong," kata dia.
Di samping itu, ia juga meminta, agar Polri memberi jaminan bahwa surat edaran tersebut tidak akan menyasar siapapun yang mengkritik kinerja pemerintah.
Sosialisasi atas surat edaran itu juga perlu dilakukan secara intensif agar dipahami oleh seluruh elemen masyarakat.
"Publik juga butuh jaminan bahwa SE Kapolri itu tidak akan disalahgunakan sebagai alat politik penguasa dan keluarganya. Presiden, Wakil Presiden, para menteri dan pejabat tinggi lainnya tidak boleh menunggangi SE Kapolri itu untuk membungkam arus kritik dari masyarakat," kata Bambang.
Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti sebelumnya menganggap, perbedaan pendapat terkait surat edaran yang diterbitkannya sebagai sesuatu yang wajar. (Baca: Kapolri: Surat Edaran "Hate Speech" Justru Beri Kepastian Hukum)
Badrodin mengimbau masyarakat agar tidak khawatir dengan penerapan SE Kapolri Nomor SE/06/X/2015 itu. Sebab, surat tersebut justru akan memberikan kepastian proses hukum.
"Sekarang misalnya sampeyan mendapat suatu hujatan di media sosial, terus apa yang sampeyan lakukan? Ke mana akan mengadu? Apa akan diselesaikan sendiri? Atau dilaporkan ke polisi? Kan lebih bagus kalau dilaporkan ke polisi, kita bisa mediasi," ujarnya.
"Kita tetap menghargai dan melindungi hak asasi orang lain," ujarnya. (Baca: Kapolri: Pelaku "Hate Speech" Diproses Supaya Tidak Bisa Sewenang-wenang)
Seperti dikutip Kompas, dalam surat edaran yang ditandatangani Kapolri pada 8 Oktober 2015 tersebut, jejaring media sosial menjadi salah satu sarana yang dipantau terkait penyebaran ujaran kebencian ini. (Baca: Pasca-Edaran Polri Terkait Ujaran Kebencian, Warga Harus Ekstra Hati-hati di Media Sosial)
Sementara itu, aspek yang dianggap dapat menyulut kebencian juga tak terbatas pada suku, agama, ras, etnis, dan golongan. Aspek mengenai warna kulit, jender, kaum difabel, hingga orientasi seksual juga menjadi perhatian dalam surat edaran ini.
Dalam surat edaran disebutkan, ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. (baca: Kapolri: SE "Hate Speech" Itu Bukan Regulasi, Kenapa Harus Dicabut?)
Bentuknya antara lain penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.
Tujuan ujaran kebencian adalah untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas. Aspeknya bisa meliputi suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seks.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.