Identitas gerakan politik
Nama Indonesia menjadi identitas politik ketika trio Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat), dan dokter Tjipto Mangunkusumo mengusung gagasan modern berpolitik dalam Indische Partij (Partai Hindia), yang menjadikan orang-orang kelahiran Indonesia membangun kesadaran politik dan kebangsaan Indonesia tanpa membedakan sekat perbedaan suku-rasial dan keyakinan.
Sebagai kilas balik yang menarik, sejarawan Remco Raben dan Ulbe Bosma dalam buku Being Dutch In The Indies: A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, mengungkapkan, kesadaran sebagai "Putera Hindia" juga muncul di kalangan Indo-Eropa.
Bahkan, pernah terjadi unjuk rasa menuntut hak sebagai Putera Hindia pada 1840-an yang sangat tidak lazim di Hindia-Belanda yang sangat konservatif.
Pasalnya, orang Eropa mengacu Benua Eropa adalah tanah airnya. Mereka hanya menjadi pemukim-trekker-yang suatu hari akan kembali ke Eropa dan tidak peduli masa depan Hindia.
Penulis buku Perang Napoleon di Jawa, 1811, Jean Rocher yang lulusan Akademi Militer Saint Cyr dan fasih berbahasa Indonesia mengatakan, reformasi politik pertama pada zaman penjajahan Belanda dilakukan oleh tokoh yang tak populer dalam sejarah Indonesia, yakni Herman Willem Daendels.
Daendels memecat birokrat korup dan mencabut hak-hak bangsawan lokal yang berlebihan serta menjalankan efisiensi pemerintahan. Sejarah menempatkan Daendels pada posisi antagonis.
Mengenai pertumbuhan dan kesadaran politik, Peter Carey menjelaskan, Hindia-Belanda jauh tertinggal dibandingkan dengan Filipina yang merupakan jajahan Amerika Serikat dan India yang merupakan jajahan Inggris.
Kesadaran untuk mempersiapkan kemerdekaan negeri jajahan sudah disadari pihak AS dan Inggris.