Dari sisi etik juga harus ada pemahaman atas tindakan di media sosial yang sesuai dengan nilai agama ataupun Pancasila.
Haedar mengatakan, Muhammadiyah juga sudah hadir di tengah-tengah komunitas virtual untuk berdakwah.
Media sosial juga dijadikan alat untuk menyebarluaskan nilai kebaikan, kebenaran, toleransi, persahabatan, dan kasih sayang.
Dalam kehidupan sehari-hari, Muhammadiyah terus mendorong dialog antarumat beragama untuk membangun rasa saling memahami di tengah perbedaan paham dan keyakinan.
Hal senada disampaikan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini dan Ketua Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia Usamah Hisyam.
Helmy mengatakan, harus ada upaya memberikan terapi kejut bagi siapa pun yang menyebarkan kebencian karena ulah mereka menimbulkan konsekuensi negatif bagi masyarakat.
"Media sosial itu berkontribusi besar (memicu disintegrasi) dalam konteks agitasi, provokasi masyarakat karena orang bisa berbagi informasi dengan sangat cepat dan dampak yang luar biasa," kata Helmy.
Menurut dia, NU sudah menggunakan berbagai perangkat yang dimiliki, seperti melalui Lajnah Ta'lif wan Nasyr NU sebagai benteng pertahanan terhadap ujaran kebencian di media sosial. Namun, kehadiran pemerintah harus terasa di ranah daring (online).
Adapun Usamah mengingatkan umat untuk tidak menyebarkan kebencian di antara sesama umat Islam maupun antarumat beragama di media sosial maupun kehidupan sehari-hari. (GAL/IAN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Oktober 2015, di halaman 1 dengan judul "Polri Antisipasi Ujaran Kebencian".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.