SOLO, KOMPAS — Keberhasilan pembangunan iklim kreatif menuntut kolaborasi kuat antara kebijakan pemerintah daerah dan kinerja jejaring komunitas serta para pelaku ekonomi. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin daerah yang cerdas dan inovatif agar dapat mengoptimalkan potensi ekonomi kreatif di wilayahnya.
Sekretaris Jenderal Solo Creative City Network (SCCN) Dhian Lestari Hastuti mengatakan, figur pemimpin yang dinamis dan bervisi sangat dibutuhkan untuk membentuk koridor pengembangan kebijakan kabupaten/kota kreatif.
"Bukan kebetulan, daerah-daerah dengan dinamika pertumbuhan, seperti Banyuwangi, Bandung, Pekalongan, dan Solo, dipimpin oleh orang-orang yang punya visi sejalan dengan ekonomi kreatif," katanya, Minggu (25/10/2015), seusai pembacaan deklarasi Jejaring Kabupaten-Kota Kreatif (Indonesia Creative Cities Network/ICCN) di depan kompleks Kantor Pemerintahan Kota Solo, Jawa Tengah.
Selain itu, komunitas-komunitas kreatif diharapkan juga terus bermunculan di daerah-daerah. Komunitas-komunitas tersebut merupakan pelaku utama menuju ekonomi kreatif. Selanjutnya, peran akademisi dan pemerintah daerah untuk mendukung serta memberi ruang bagi pengembangan komunitas tersebut sangat diperlukan.
Pembacaan deklarasi Jejaring Kabupaten-Kota Kreatif kemarin dibarengi atraksi puluhan komunitas kreatif dari Solo dan sejumlah daerah lain di Jalan Slamet Riyadi, jalan protokol di Solo. Poin-poin dalam deklarasi tersebut merupakan rangkuman pelaksanaan Konferensi Kota Kreatif Indonesia (Indonesia Creative City Conference/ICCC) di Solo sejak 22 Oktober.
Susun peta jalan
Saat membacakan deklarasi, perwakilan Bandung Creative City Forum, Gustaff Hariman Iskandar, mengatakan bahwa pekerjaan rumah sebanyak 52 delegasi daerah yang mengikuti ICCC cukup berat. Mereka harus segera menyusun peta jalan ekonomi kreatif masing-masing disesuaikan dengan potensi yang ada.
Hasil konferensi juga memutuskan, Solo ditunjuk sebagai lokasi sekretariat jejaring yang baru dibentuk tersebut. Konferensi berikutnya akan diselenggarakan di Kota Malang pada 2016. Diharapkan, paling tidak 250 kabupaten/kota bisa bergabung dalam perhelatan tersebut.
Terkait kesenjangan pertumbuhan ekonomi kreatif di setiap daerah, Gustaff mengatakan, semua kabupaten/kota punya peluang untuk tumbuh secara kreatif dan tidak sekadar menggantungkan pada pembangunan infrastruktur fisik. Namun, butuh kejelian pemerintah daerah setempat untuk menangkap potensi seni budaya, industri lokal, sumber daya manusia, dan alam yang ada untuk dikemas menjadi produk kreatif.
"Mungkin tidak semua daerah punya sumber daya manusia berlimpah seperti Bandung atau Solo. Namun, mereka pasti punya potensi dan sumber daya lain yang bisa dioptimalkan," kata Gustaff.
Paulus Mintarga, inisiator Solo Creative City Network yang juga terpilih sebagai Ketua ICCN, mengatakan akan segera melakukan konsolidasi internal. Dia berharap kota/kabupaten yang ikut dalam konferensi tahun ini dapat menjaring dan menggandeng lebih banyak kota-kabupaten lain di sekitarnya.
Dia mengatakan, melalui penyelenggaraan ICCC di Solo telah menunjukkan bahwa kerja sama sesuai teori quadro helix, yaitu antara pemerintah, akademisi, komunitas, dan pelaku bisnis serta media massa untuk pengembangan ekonomi kreatif bisa berjalan sinergis. Menurut Paulus, ICCN dan SCCN nanti akan berbagi tugas dalam membangun dan memperkuat jejaring kota kreatif.
Perhelatan ICCC di Solo ditutup pada Minggu malam dengan penampilan musik puluhan talenta kreatif dari beberapa daerah di Benteng Vastenburg. Tampil sebagai bintang tamu dalam pentas musik itu adalah musisi I Wayan Balawan dan Marzuki Mohammad dari Jogja Hip Hop Foundation.
Pemasaran terbatas
Upaya untuk memasarkan produk hasil inovasi masyarakat di Jateng selama ini masih terbatas pada komunitas, belum sampai komersialisasi. Kendalanya antara lain minimnya akses terhadap pasar, hak atas kekayaan intelektual, dan keterbatasan modal.