Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menteri Yuddy Ingatkan Sanksi Pemecatan bagi ASN yang Tak Netral dalam Pilkada

Kompas.com - 23/10/2015, 14:44 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengingatkan kembali akan sanksi pemecatan yang bakal diberikan kepada aparatur sipil negara (ASN) yang memihak dalam pemilihan kepala daerah serentak. 

Sanksi sama akan diberikan bagi ASN yang menggunakan aset pemerintah untuk kepentingan politik.

"'Kalau sudah terlalu fatal, secara masif, tindakan-tindakan di luar kewajiban netralitasnya, bisa diberhentikan baik dengan hormat maupun tidak hormat," kata Yuddy di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Jumat (23/10/2015).

Untuk mengawasi netralitas ASN dalam pilkada, pemerintah membentuk satuan tugas pengawasan. (baca: Satgas Pengawasan Netralitas ASN dalam Pilkada Resmi Dibentuk)

Menurut Yuddy, satgas ini nantinya berwenang merekomendasi jenis sanksi yang mungkin diberikan.

Selain ancaman pemecatan, sanksi yang mungkin diberikan kepada ASN yang memihak dapat berupa pencopotan dari jabatannya. (baca: Menurut JK, Masalah Lebih Banyak Saat Pilkada Dibanding Pileg atau Pilpres)

"Misalnya jabatannya kepala dinas, lalu dia menyalahgunakan kewenangannya, mengintervensi, dia juga menggunakan aset pemerintah, langsung bisa dicopot dia dari jabatannya. Yang mau promosi juga ditunda promosinya, yang udah naik pangkat bisa diturunkan pangkatnya satu tahun atau tiga tahun," papar Yuddy.

Ia menambahkan bahwa sanksi bagi ASN yang tidak netral dalam pilkada ini sudah diatur dalam peraturan pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil. (baca: Pilkada Diprediksi Rentan Diwarnai Pelanggaran Netralitas PNS)

Di samping itu, ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang aparatur sipil negara dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah yang mengatur bahwa pegawai negeri sipil tidak boleh berpolitik.

"Harus netral di dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik itu kepala daerah, maupun pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif maupun presiden. Jadi dengan begitu artinya tidak dibenarkan dengan alasan apapun kepada aparatur sipil negara untuk berpihak di dalam pemilihan umum, terlebih lagi di dalam pemilihan umum daerah yang dilakukan serentak," papar Yuddy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Dirut Nonaktif PT Taspen Antonius Kosasih

Nasional
KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

KPU Ungkap 13 Panitia Pemilihan di Papua Tengah yang Tahan Rekapitulasi Suara Berujung Dipecat

Nasional
Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Ekonomi Tumbuh 5,11 Persen, Jokowi: Negara Lain Masuk Jurang, Kita Naik

Nasional
Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Eks Anak Buah SYL Beri Tip untuk Paspampres, Gratifikasi Disebut Jadi Kebiasaan

Nasional
TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

TPN Resmi Dibubarkan, Hasto Tegaskan Perjuangan Tetap Dilanjutkan

Nasional
Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Kelakar Jokowi soal Kemungkinan Pindah Parpol Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com