Oleh: Anita Yossihara dan M Fajar Marta
KOMPAS - Tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla bukanlah periode yang mudah. Persoalan politik, hukum, dan ekonomi silih berganti harus dihadapi pemerintahan ini, bahkan sejak hari pertama masa kerjanya.
Setelah menghadapi polarisasi politik antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih, pemerintah dihadapkan pada ketegangan hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi versus kepolisian. Pemerintah saat ini dihadapkan pada pelambatan ekonomi.
Harga komoditas jatuh, membuat perekonomian dalam negeri dan neraca pembayaran Indonesia tertekan. Ditambah ketidakpastian ekonomi global membuat rupiah melemah terhadap dollar AS. Belanja pemerintah yang diharapkan mempercepat gerak ekonomi juga terkendala oleh, antara lain, pembenahan nomenklatur kementerian, keterlambatan pengesahan anggaran pemerintah daerah, dan ketakutan pejabat terjerat hukum.
Serapan anggaran seret. Hingga 22 September, penyerapan baru 46,59 persen dari anggaran yang disediakan. Belanja pemerintah rendah. Ini sebenarnya juga disebabkan minimnya uang pemerintah. Meski subsidi bahan bakar minyak dikurangi, penerimaan negara dari pajak jauh dari yang diharapkan.
Berdasarkan data realisasi APBN 2015 yang dirilis Kementerian Keuangan, penerimaan pajak hingga akhir Juli 2015 baru sebesar 41,7 persen dari total target penerimaan pajak Rp 1.489,3 triliun.
Berbagai langkah ditempuh untuk meningkatkan gairah perekonomian, seperti mengeluarkan paket kebijakan I-IV. Langkah lain adalah pengusulan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional oleh sejumlah anggota DPR pada rapat Badan Legislasi, 6 Oktober lalu.
Salah satu pengusul dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), M Misbakhun, mengatakan, RUU itu perlu dibahas cepat demi menyelamatkan keuangan negara. "RUU ini mendesak dan urgen," ujarnya.
Uang tebusan
Para pengusul RUU Pengampunan Nasional melihat potensi pendapatan yang dapat menutupi kekurangan penerimaan negara, yaitu uang warga Indonesia yang disimpan di luar negeri yang diperkirakan Rp 3.000 triliun-Rp 4.000 triliun. Ditambah lagi dengan "uang bantal", yakni uang yang disimpan di kediaman, yang besarnya Rp 2.000 triliun-Rp 3.000 triliun.
Simpanan itu perlu direpatriasi, dikembalikan ke dalam negeri. Agar pemilik simpanan mau memulangkan uangnya, negara perlu memberi kompensasi berupa pengampunan dari berbagai ancaman hukuman. Syaratnya, mengajukan permohonan pengampunan dan membayar tebusan.
Dalam draf RUU diketahui, tarif tebusan diusulkan 3-8 persen dari kekayaan yang dilaporkan. Pemohon yang minta pengampunan pada Oktober-Desember 2015 membayar tebusan 3 persen, Januari-Juni 2016 sebesar 5 persen, dan mereka yang minta pengampunan pada Juli-Desember 2016 harus membayar tebusan 8 persen. Selain uang tebusan, syarat lain harus melunasi tunggakan pajak.
Setelah itu, mereka akan mendapatkan sejumlah fasilitas, seperti diatur dalam Pasal 9 dan 10. Merujuk pada ketentuan Pasal 10, negara hanya akan menyoal perolehan kekayaan para pemohon pengampunan jika harta diperoleh berkaitan dengan tindak pidana terorisme, narkoba, dan perdagangan manusia. Di luar tiga jenis tindak pidana itu, para pemohon pengampunan tidak akan dijerat hukuman meski hartanya berasal dari korupsi, pencucian uang, pembalakan liar, dan lainnya.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Hendrawan Supratikno, menghitung, potensi penerimaan tambahan dari pengampunan pajak sekitar Rp 210 triliun-Rp 350 triliun.
"Usulan uang tebusan itu, kan, 3-8 persen. Kalau dirata-rata 5 persen saja dikalikan Rp 7.000 triliun, artinya kalau optimistis bisa dapat Rp 350 triliun. Hitungan pesimistisnya Rp 210 triliun, yakni 3 persen dikalikan Rp 7.000 triliun," ujarnya.