Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KUHP Bisa Mengekang Masyarakat

Kompas.com - 12/10/2015, 15:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Keinginan pemerintah dan DPR mengintegrasikan semua jenis pidana ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih menuai kontroversi. Generalisasi hukum pidana ini berpotensi mematikan undang-undang yang mengatur pemidanaan atas kejahatan khusus dan melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana khusus yang selama ini sudah berjalan relatif efektif.

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, upaya merevisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan kodifikasi hukum pidana warisan pemerintah kolonial Belanda sudah dilakukan. Bahkan, itu menjadi obsesi hampir setiap menteri hukum di republik ini. Namun, upaya itu hingga kini belum berhasil.

Di luar ketentuan KUHP yang mengatur pidana umum, muncul terminologi hukum pidana khusus untuk memuat ketentuan yang tak diatur KUHP. Sejumlah kejahatan khusus yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, seperti korupsi, pencucian uang, narkotika, terorisme, perdagangan orang, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, diatur dalam UU tersendiri, UU pidana khusus.

Publik selama ini sudah cukup familiar dengan terminologi pidana atau kejahatan khusus. Bahkan, untuk beberapa jenis kejahatan, mereka setuju untuk dikatakan sebagai kejahatan luar biasa. Hasil jajak pendapat Kompas mengungkapkan afirmasi publik terhadap kejahatan luar biasa ini. Hampir semua responden menyatakan setuju jika korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotika, perdagangan orang, dan pelanggaran HAM berat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.

Sikap responden ini mencerminkan dinamika sosial yang bergerak begitu cepat, diikuti dengan tuntutan keadilan yang begitu kuat. Sementara rumusan KUHP seolah berhenti dan tertinggal jauh di belakang dinamika masyarakat. Akibatnya, KUHP sebagai instrumen dan barometer hukum pidana nasional tidak bisa lagi dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengatasi problem kejahatan dan tuntutan keadilan.

Kontroversi

Salah satu semangat yang melekat di dalam upaya revisi KUHP adalah keinginan untuk mengintegrasikan semua tindak pidana ke dalam satu kodifikasi kitab undang-undang yang sistematis dan lengkap. Namun demikian, penyatuan tersebut justru dianggap rawan karena bisa menabrak ketentuan-ketentuan pidana yang sudah ditetapkan oleh UU pidana khusus. Akibatnya, pasal-pasal terkait pidana khusus yang akan diatur oleh KUHP sangat mungkin tumpang tindih atau bertentangan dengan ketentuan dalam UU pidana khusus.

Sebut saja tindak pidana pencucian uang yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ini memberikan wewenang secara khusus kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menangani tindak pidana pencucian uang. Dalam revisi KUHP, peran PPATK tidak disebutkan sama sekali alias ditiadakan. Hal serupa terjadi pada tindak pidana korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gejala Korupsisme Masyarakat

Gejala Korupsisme Masyarakat

Nasional
KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

KPU Tak Bawa Bukti Noken pada Sidang Sengketa Pileg, MK: Masak Tidak Bisa?

Nasional
PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

PDI-P Mundur Jadi Pihak Terkait Perkara Pileg yang Diajukan PPP di Sumatera Barat

Nasional
Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Distribusikan Bantuan Korban Longsor di Luwu Sulsel, TNI AU Kerahkan Helikopter Caracal dan Kopasgat

Nasional
Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Hakim MK Cecar Bawaslu Terkait Kemiripan Tanda Tangan Pemilih

Nasional
Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Waketum Gerindra Nilai Eko Patrio Pantas Jadi Menteri Prabowo-Gibran

Nasional
MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

MKD Temukan 3 Kasus Pelat Nomor Dinas DPR Palsu, Akan Koordinasi dengan Polri

Nasional
Paradoks Sejarah Bengkulu

Paradoks Sejarah Bengkulu

Nasional
Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Menteri PPN: Hak Milik atas Tanah di IKN Diperbolehkan

Nasional
Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Menkes: Indonesia Kekurangan 29.000 Dokter Spesialis, Per Tahun Cuma Produksi 2.700

Nasional
Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Preseden Buruk jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com