Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jerebu yang Mengganggu Kehidupan

Kompas.com - 06/10/2015, 22:35 WIB


Catatan Kaki Jodhi Yudono

"Jerebu", kata ini saya dengar untuk pertama kali di Singapura dari mulut seorang penyair asal Pekanbaru. Tiap kali mengucapkan kata jerebu, selalu diakhiri dengan kelu. Mata sang penyair jadi sendu, entah apa yang dipikirkannya perihal jerebu.

Ya... ya, jerebu itu sungguh mengganggu. Sudah dua bulan ini jerebu bikin repot kehidupan. Bahkan, jerebu yang bermula dari negerinya di Indonesia sana, kini tercium pula di Singapura.

Jerebu adalah satu fenomena di mana debu, asap, dan lain-lain zarah mencemari beningnya langit. Fenomena itulah yang kini sedang melanda langit sebagian wilayah Sumatera, Singapura, dan Malaysia.

Indeks Pencemaran Udara (IPU) merupakan salah satu cara untuk mengetahui tahap pekatnya jerebu. Di dalamnya terdapat pengukuran kuantitatif zat-zat berbahaya seperti karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan ozon. Ukuran udara mengikut IPU adalah sebagai berikut:

Nilai IPU kualitas udara:
0 - 50             Baik
51 - 100         Sederhana
101 - 200       Tidak sehat
201 - 300       Sangat tidak sehat
301 - 400       Berbahaya
401 - 500       Sangat berbahaya
Lebih dari 501 Darurat

Begitulah, pada saat pesawat yang saya tumpangi hendak mendarat di Bandara Changi, jerebu itu terlihat pekat. Konon, pada Jumat (2/10) sore, IPU Singapura di atas 101. Itu artinya udara yang terisap berada pada kategori tidak sehat.

"Äh, itu belum seberapa," kata kawan penyair saya yang bernama Mosthamir Thalib, asli Pekanbaru. Sebab, di Pekanbaru, IPU mencapai angka di atas 500. Huah.... Itu artinya, warga Pekanbaru sama seperti mengisap rokok. Itulah sebabnya, dua kawan saya dari Pekanbaru yang datang ke acara "Lentera Puisi 3" di Singapura harus naik feri untuk sampai di Negeri Singa.

"Kami harus naik kapal menuju Singapura. Dan selama perjalanan pun kami dinaungi oleh jerebu," ujar kawan Mosthamir yang bernama Kazzaini Ks, yang juga penyair.

Lantas cerita tentang jerebu pun mengalir penuh kesedihan. Bayangkanlah, kini sebanyak tiga provinsi, yaitu Riau, Jambi, dan Kalimantan Tengah, telah memberlakukan status tanggap darurat setelah selama beberapa pekan indikator pencemaran udara di wilayah tersebut melampaui tahap berbahaya.

Pada Rabu 30 September, indikator polutan di Pekanbaru, Riau--menurut penghitungan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika--mencapai 450 atau 100 lebih tinggi dari taraf bahaya.

"Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II, Pekanbaru, Riau, masih diselimuti debu. Akibatnya, seluruh penerbangan, baik domestik maupun internasional, terpaksa dibatalkan karena tak memungkinkan melakukan pendaratan dan penerbangan," susul Mosthamir.

"Äh, entah sampai kapan situasi ini akan berakhir," keluh Mosthamir.

Dan hari-hari belakangan ini, sebagian warga di Pekanbaru, Riau, sedang berusaha mati-matian mencegah paparan langsung asap, yang merembes masuk ke dalam rumah sejak beberapa pekan belakangan. Ini dilakukan lantaran warga tak bisa mengungsi karena harus bekerja, tetapi tak ingin mati perlahan akibat terserang penyakit oleh asap.

Maka, agar keluarga mereka selamat dari penyakit yang ditimbulkan oleh asap, sebagian warga yang tak sempat mengungsi akhirnya berupaya keras agar orang-orang yang disayangi bisa berumur panjang, khususnya anak balita. Konon, sudah satu bulan ini beberapa rumah sudah ditutup lubang ventilasi kamarnya dengan plastik agar asap tak masuk.

Tak cuma itu, agar kamar yang tertutup ini memiliki oksigen yang cukup dan sehat, mereka tak lupa menaruh rendaman jeruk, minyak kayu putih, dan air mendidih di dalam kamar. "Saya tanya sama kawan-kawan, katanya didihkan air bersama jeruk nipis, minyak kayu putih. Selain itu, AC juga dinyalakan," kisa perempuan bernama Ira kepada GoRiau.com.

Menurut Ira, rendaman jeruk nipis ini beraroma segar. Selain itu, kata kawan-kawannya, efek rendaman jeruk nipis bisa mengikat molekul buruk asap di dalam ruangan sehingga oksigen di kamar bisa bagus.

Beda dengan Ira, Ady (28), menyediakan tabung oksigen mini di rumah. Maklumlah, dia belajar dari pengalaman pahit yang dialaminya. Dia mengaku tak mau kecolongan lagi. Setidaknya, tabung oksigen itu untuk mengantisipasi keluarganya saat kekurangan oksigen. Ady berkisah, beberapa waktu lalu dirinya sempat dirawat di IGD karena kekurangan oksigen. Untung cepat, kalau tidak, saya bisa mati," tuturnya kepada GoRiau.id.

Ady menuturkan, awalnya dia sedang menonton televisi di kamar, lalu tiba-tiba pandangannya gelap, dadanya berat, dan napasnya terengah-engah. Tak itu saja, beberapa menit sesudahnya Ady merasa kaki dan tangannya kesemutan. Oleh istrinya, Ady lalu dibawa ke puskesmas terdekat.

"Pas di puskesmas saya pingsan. Kata istri, tangan saya kaku kayak orang stroke, malahan kejang-kejang. Perawat langsung kasih oksigen dan saya dilarikan ke Santa Maria. Di IGD, saya diberi pertolongan pertama, yakni oksigen dan uap agar pernapasan lega," kata Ady yang memastikan bahwa dia tidak pernah punya riwayat asma.

Semua ini diakibatkan oleh dampak paparan asap yang terjadi hampir dua bulan belakangan. Bahkan sebagian warga sudah mengungsi ke provinsi tetangga. Sisanya hanya bertahan dan berharap supaya asap segera hilang. Sementara pemerintah selalu mengklaim bahwa asap bukan dari Riau, melainkan provinsi tetangga.

Asap semakin pekat, sebagian Kota di Riau diselimuti jerebu. Pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru, Minggu (4/10/2015) sore, sebagian kota masih diselimuti asap pekat, di antaranya Pekanbaru berjarak pandang 600 meter, Rengat berjarak pandang 300 meter, Dumai jarak pandang 600 meter, dan Pelalawan dengan jarak pandang akibat asap sekitar 300 meter.

Riau memang masih dinaungi asap lantaran meningkatnya titik panas di beberapa lokasi. Pantauan satelit Terra dan Aqua, Minggu sore, tercatat sekitar 254 titik panas, di mana 178 titiknya berada di Sumatera Selatan. Sisanya Lampung 26 titik, Jambi 18 titik, Bengkulu 24 titik, Babel lima titik, Sumbar dua titik, dan Riau satu titik panas.

Peringatan hari ulang tahun ke-70 Tentara Nasional Indonesia di Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru, Provinsi Riau, Senin, diselimuti kabut asap pekat dengan jarak pandang berkisar 200 meter.

Kepada beberapa rekan dari Malaysia dan Singapura, sempat juga saya tanyakan, bagaimanakah sikap mereka terhadap jerebu yang "diekspor" dari negeri kami. Mereka bilang tidak apa-apa. Ah... barangkali karena sudah kebal setiap tahun mendapatkan paket asap dari Indonesia. Atau....

Kasak-kusuk yang saya dengar, orang Malaysia dan Singapura sudah tak hirau lagi dengan kiriman asap itu lantaran akhirnya mereka tahu, kebakaran hutan itu disebabkan oleh para pengusaha perkebunan kelapa sawit yang ingin dengan cepat dan murah membuka lahan baru dengan membakar hutan.

Ehem... dan sudah menjadi rahasia umum bahwa para pengusaha perkebunan itu sebagian di antaranya berasal dari Malaysia dan Singapura.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com