JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, mengatakan, terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden RI pada awalnya membawa harapan baru bagi penyelesaian pelanggaran HAM. Sebab, mantan Gubernur DKI Jakarta itu berjanji mengungkap dengan adil peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Namun, saat ini sejumlah kasus pelanggaran HAM dianggap masih belum jelas kelanjutan penyelesaiannya. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu bukan hanya dinilai sebagai amanat reformasi, tapi merupakan tantangan bagi bangsa untuk menatap masa depan. Penuntasan pelanggaran HAM berat juga merupakan uji ketahanan bangsa sebagai negara hukum.
"Pemerintah Jokowi bisa berdalih bahwa prioritas mereka saat ini adalah pembangunan ekonomi. Argumentasi ini adalah cara menghindari tanggung jawab konstitusional Jokowi dari kewajiban menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat," ujar Hendardi di Kantor Setara, Jakarta, Senin (28/9/2015).
Ia menambahkan, pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu akan menunjukkan bahwa hukum masih berdaulat di Indonesia. Terlebih, dikatakan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD Negara RI 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun, pada kenyataannya, Hendardi menambahkan, sejumlah kasus HAM berat hanya mondar-mandir di Komnas HAM dan Kejaksaan Agung tanpa menemui titik temu.
Setara Institute merilis daftar kasus pelanggaran HAM berat yang macet di Kejaksaan Agung dan Komnas HAM.
Berikut daftar kasus tersebut:
1. Peristiwa Pembunuhan Massal 1965
Pada 2012, Komnas HAM menyatakan menemukan ada pelanggaran HAM berat pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sejumlah kasus yang ditemukan antara lain penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, penghilangan paksa hingga perbudakan. Kasusnya macet di Kejaksaan Agung. Korban mencapai 1,5 juta orang yang sebagian besar anggota PKI atau ormas yang berafiliasi dengannya.
2. Peristiwa Talangsari-Lampung 1989
Pada Maret 2005, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Pada 19 Mei 2005 tim menyimpulkan adanya unsur pelanggaran HAM berat. Berkas hasil penyelidikan diserahkan Komnas HAM ke Jaksa Agung (2006) untuk ditindaklanjuti, namun macet di Kejaksaan. Korban mencapai 803 orang.
3. Tragedi Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus Trisakti dan selesai pada Maret 2002. Masuk ke Kejaksaan Agung berkali-kali, namun berkali-kali juga dikembalikan. Bahkan pada 13 Maret 2008 dinyatakan hilang oleh Jampidsus Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman. Korban mencapai 685 orang.
4. Tragedi Semanggi I 1998
Komnas HAM telah melakukan penyelidikan Tragedi Semanggi I dan selesai pada Maret 2002. Namun berkas hanya bolak-balik dari Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Pada 13 Maret 2008 berkas tersebut dinyatakan hilang oleh Jampidsus Kejaksaan Agung, Kemas Yahya Rahman. Korban mencapai 127 orang.
5. Tragedi Semanggi II 1999
Sama seperti penyelidikan Tragedi Semanggi I. Korban mencapai 228 orang.
6. Kasus Wasior dan Wamena (2001 dan 2003)
Tim ad hoc Papua Komnas HAM telah melakukan penyelidikan Pro Justisia yang mencakup Wasior dan Wamena sejak 17 Desember 2003 hingga 31 Juli 2004. Berkas diserahkan ke Kejaksaan Agung dan ditolak dengan alasan laporan Komnas HAM masih tidak lengkap.
7. Kerusuhan Mei 1998
Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung. Namun berkas dikembalikan dengan alasan tidak lengkap. Korban mencapai 1.308 orang.
8. Penembakan Misterius "Petrus" 1982-1985
Pada 2012 komnas HAM menyatakan penyelidikan kasus Petrus adalah pelanggaran HAM berat, kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung. Korban mencapai 1.678 orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.