Oleh: Freddy Numberi
JAKARTA, KOMPAS - Perbatasan suatu negara, bagi seorang pemimpin negara, tak dimungkiri adalah suatu harga diri yang tak dapat dipandang remeh oleh negara lain.
Pasalnya, karena adanya perbatasan itulah, suatu negara memiliki kedaulatan. Karena itu, bisa dimaklumi jika Presiden Joko Widodo, saat sebelum menjadi presiden, dalam acara debat dengan calon presiden Prabowo Subianto kala itu terkesan arogan. "Kita bikin rame," katanya saat itu, terkait tekadnya jika terpilih menjadi presiden, ia akan tanpa ragu melakukan tindakan yang tegas jika kedaulatan RI diancam negara lain.
Meski mengedepankan diplomasi, dia menyatakan siap bertindak jika kedaulatan NKRI diganggu bangsa lain. "Apa pun akan saya lakukan jika kedaulatan kita diganggu, apa pun saya pertaruhkan," katanya saat itu.
Kedaulatan teritorial
Mengawali dari prolog menyangkut urgensi wilayah perbatasan, Jokowi saat masih calon presiden tampak garang dan terkesan bahwa mempertahankan kedaulatan batas negara merupakan harga mati. Sejatinya, seorang pemimpin bangsa dari suatu negara memang harus seperti itu, apalagi Indonesia punya sejarah menyakitkan ketika Sipadan-Ligitan lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, berpindah ke pelukan Malaysia.
Apakah langkah Jokowi akan seperti janjinya? Sebagai gambaran, persoalan perbatasan hingga saat ini masih tetap berpotensi memunculkan konflik. Seperti potensi konflik pada daerah sengketa perbatasan laut, antara lain dengan Singapura (Selat Philips), Vietnam (utara Kepulauan Natuna), dan pengaturan kembali perairan Indonesia di sekitar Kepulauan Timor. Semrawutnya pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang hingga kini belum terselesaikan dengan beberapa tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah pada konflik internasional.
Mengingat Indonesia negara kepulauan yang sarat isu-isu maritim, wajar apabila isu-isu tersebut menjadi perhatian serius dari pemerintah dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Menyangkut batas teritorial, ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki banyak "pulau tak bernama", membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu.
Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim perlu diperkuat armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusia. Demikian juga TNI AU perlu diperkuat dan modernisasi pesawat tempurnya agar dapat melakukan tindakan tegas terhadap pesawat-pesawat tempur milik Malaysia yang berulang kali menerobos wilayah udara Indonesia.
Ketiga, Presiden Jokowi perlu memiliki utusan khusus sebagai negosiator mumpuni yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di fora internasional.