Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Tujuh Perusahaan yang Ditetapkan Polisi sebagai Pembakar Hutan

Kompas.com - 17/09/2015, 03:48 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti mengatakan pihaknya telah menetapkan tujuh perusahaan sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan.

Ketujuh perusahaan tersebut beroperasi di Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah.

"Secara keseluruhan kami telah menetapkan 140 tersangka, tujuh di antaranya ialah korporasi. Tadi pagi juga sudah ada yang ditangkap," kata Badrodin dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (16/09).

Ketujuh perusahaan itu adalah PT RPP di Sumatra Selatan, PT BMH di Sumsel, PT RPS di Sumsel, PT LIH di Riau, PT GAP di Kalimantan Tengah, PT MBA di Kalimantan Tengah, dan PT ASP di Kalteng.

Selain menetapkan ketujuh perusahaan itu sebagai tersangka, Badrodin mengatakan ada 20 perusahaan lainnya yang berada dalam proses penyidikan.

Adapun yang menjadi dasar hukum dalam proses penyidikan ialah Undang-Undang Perkebunan 39 tahun 2014 pasal 108, Undang-Undang Kehutanan pasal 78, dan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116.

"Saya menyarankan agar pemerintah selaku regulator memberikan sanksi tambahan bagi perusahaan-perusahaan yang tidak beriktikad baik ini dengan memberikan blacklist sehingga ke depan permohonan perizinan usaha yang sama bisa ditolak," kata Badrodin.

Gugatan perdata

Sementara itu, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, mengatakan harus ada penegakan hukum paralel.

Artinya, suatu pihak yang dijadikan tersangka oleh kepolisian dalam hukum pidana, bisa dikenai sanksi administratif dan gugatan perdata oleh pemerintah.

“Karena itu, ada sembilan gugatan perdata yang tengah kami persiapkan. Kami juga siapkan sanksi administratif dengan menyesuaikan data kepolisian. Tidak lama itu, sebulan ini kita selesaikan,” kata Siti.

Sanksi administratif berupa tiga macam, yakni paksaan penghentian kegiatan, membekukan ijin usaha, hingga pencabutan izin usaha.

Sebelumnya, aktivis lingkungan menilai kelemahan aparat hukum dalam menangani isu lingkungan serta sanksi hukuman yang ringan sebagai penyebab berulangnya kasus pembakaran hutan dari tahun ke tahun.

Aktivis koalisi pemantau pengrusakan hutan (Eyes on the forest) di Provinsi Riau, Afdhal Mahyuddin mengatakan, dirinya menyambut baik niat pemerintah untuk menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terbukti membakar hutan, tetapi dia skeptis upaya itu dapat membuat efek jera.

Direktur Eksekutif lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Provinsi Riau, Rico Kurniawan, mengatakan sanksi selama ini berhenti pada pernyataan dan tanpa tindak lanjut konkret.

"Ada tiga perusahaan di Riau yang dikenai vonis. Meskipun vonisnya ringan, tapi titik api berkurang jauh di lahan konsesi perusahaan-perusahaan itu. Namun, perusahaan yang dinyatakan sebagai tersangka pada 2013 dan 2014, tahun ini mereka membakar lagi. Artinya, vonis harus diterapkan dan bukan sekadar pepesan kosong," kata Rico.

Pencabutan izin perusahaan pembakar lahan, menurutnya, akan memberikan efek sekaligus mematahkan anggapan bahwa ijin diberikan pada perusahaan yang memiliki 'bekingan'.

"Diduga kuat bahwa penerbitan izin itu penuh dengan bekingan. Ini harus diterobos. Kita mengharapkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup berani bertindak," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Prabowo Diminta Cari Solusi Problem Rakyat, Bukan Tambah Kementerian

Nasional
Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Zulhas: Anggota DPR dan Gubernur Mana yang PAN Mintai Proyek? Enggak Ada!

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com