Sebuah antitesis
Parpol-parpol baru itu memang belum didaftarkan dan resmi sebagai peserta pemilu, tetapi setidaknya dari persiapan-persiapan awal mereka tampak ikhtiarnya dalam menunjukkan alternatif. Mereka tengah berada pada fase awal membedakan diri dengan yang lain, mengemas apa yang khas untuk ditawarkan ke publik. Yang menarik, mereka sama-sama berada di era sosial media yang ingar-bingar. Perlombaan sosialisasi parpol pun harus berhadapan dengan sejumlah isu lain sehingga memerlukan jurus-jurus baru yang efektif diterima publik luas. Ini tidak mudah manakala pendekatannya sekadar berkutat lebih banyak di dunia maya.
Dalam sejarah parpol kita, tokoh sangat memainkan peran penting. Ia tak saja menjadi penanda (ikon) parpol itu, tetapi juga sumber karisma. Dalam kasus Partai Demokrat, Gerindra, Hanura, bahkan Nasdem, figur-figur utamanya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, Wiranto, dan Surya Paloh, tampak demikian penting. Mereka bisa menjadi magnet dalam pemilu.
Akan tetapi, seiring dengan meningkatnya daya kritis dan rasionalitas masyarakat, parpol bergantung pada tokoh saja tidak cukup. Pengalaman Pemilu 2014 yang lalu setidaknya mengonfirmasi bahwa tidak ada parpol yang sangat kuat karena tokohnya. Adanya sepuluh parpol yang lolos ambang batas elektoral ke parlemen, dengan tidak adanya parpol yang meraih dukungan suara di atas 20 persen, sesungguhnya mencerminkan fenomena tersebut.
Hadirnya parpol-parpol baru di Tanah Air, bagaimanapun, tak dapat dilepaskan dengan antitesisnya terhadap parpol-parpol yang sudah ada. Dewasa ini, parpol nyaris selalu jadi sorotan dikaitkan dengan dinamika kehidupan politik bangsa yang kerap tersandera. Parpol dituduh lebih banyak bersikap egoistis dan belum sepenuhnya kontributif bagi pemecahan masalah-masalah bangsa. Bahkan, kritik yang lebih ekstrem mengungkapkan bahwa parpol masih menjadi beban ketimbang solusi.
Inilah yang membuat fenomena antipartai menyeruak. Lazimlah kiranya kemudian sebagai tindak lanjut atas kekecewaan dan kelemahan parpol-parpol lama itu muncul dua sikap yang berbeda. Pertama, reaksi emoh parpol. Ujungnya ialah seseorang atau sekelompok orang menyatakan dirinya golput (non-voters). Mereka tak akan berpartisipasi dalam pemilu dan emoh bersentuhan dengan apa-apa yang dilakukan parpol. Kedua, sikap yang mencoba memberi jawaban, yakni dengan memunculkan parpol-parpol baru. Harapannya, mereka akan bisa menutup kelemahan yang lama dengan energi dan harapan baru.
Dalam konteks yang terakhir itulah parpol-parpol baru muncul. Ada spekulasi dan proyeksi atas keberadaan masing-masing. Hukum alam politiklah yang kelak menentukan, mana yang eksis mana yang tumbang. Itu juga berlaku bagi parpol lama. Parpol yang keberatan konflik, tak mampu berinovasi dan menjawab ”kebutuhan” publik, sangat mungkin akan cepat tergilas jiwa zaman.
Dalam konteks ini, parpol baru bisa jadi pengantar ke harapan baru, bisa jadi tidak. Ikhtiar mereka tetap perlu dihargai kendatipun kehadirannya harus segera diimbangi oleh peningkatan daya kritis masyarakat.
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul "Mengapa Parpol Baru?".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.