"Suara NU sepakat untuk meminta kepada pemerintah dan DPR untuk merumuskan norma hukum untuk mencegah praktik politik yang tidak ber-akhlakul karimah," kata Masduki.
Ia mengatakan, usulan itu muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi membatalkan pencegahan politik dinasti dan memberikan ruang kembali bagi mantan narapidana korupsi untuk meraih jabatan publik.
"Putusan ini (Mahkamah Konstitusi) telah menghambat tegaknya moral dan etika dalam berpolitik," ujar Masduki.
Sebelumnya, Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota mengatur syarat bagi bakal calon kepala daerah agar tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Artinya, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak dan menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.
Akan tetapi, dalam putusannya, MK menyatakan pasal tersebut inkonsitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan tersebut dikeluarkan setelah sebelumnya ipar petahana Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, A Irwan Hamid mengajukan pengujian undang-undang ke MK.
Menurut Komisi Rekomendasi Muktamar ke-33 NU, saat ini politik tidak menjelma sebagai instrumen untuk memperjuangkan kebajikan umum.
"Kami di Komisi Rekomendasi melihat politik berubah menjadi arena perburuan rente untuk mengeruk sumber daya dan keuangan publik," ujar dia.
"Agar demokrasi menjadi wasilah mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional," kata Masduki.
Usulan dari Komisi Rekomendasi Muktamar ke-33 NU tersebut dibacakan di depan peserta muktamar atau Muktamirin yang disahkan dalam Pleno Komisi dengan pimpinan sidang KH. Ahmad Muzakki pada Rabu (5/8/2015) lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.