JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganggap pasal penghinaan presiden perlu ada dalam KUHP untuk memproteksi masyarakat yang bersikap kritis sehingga tidak terjerat pada pasal-pasal "karet" yang berujung pidana. Karena itu, pemerintah menambahkan kalimat yang dianggap bisa memberikan proteksi itu.
"Kalau saya lihat di situ sebetulnya justru itu untuk memproteksi orang-orang yang kritis, masyarakat yang kritis, masyarakat yang ingin melakukan pengawasan untuk tidak dibawa ke 'pasal-pasal karet'. Jangan dibalik-balik," kata Jokowi seusai melakukan peresmian di Pelabuhan Kali Adem, Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku pemerintah tetap mempersilakan masyarakat untuk memberikan kritik dan koreksi serta pengawasan. Namun, sikap kritis itu diharapkan Jokowi tidak sampai berujung pidana. (Baca: Ketua Komisi III: DPR Tolak Pasal Larangan Penghinaan Presiden)
Karena itu, pemerintah menambah butir pasal dalam pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Di dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa "setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV." (Baca: Kalla: Wajar Pemerintah Ingin Hidupkan Pasal Penghinaan Presiden)
Di dalam ayat selanjutnya ditambahkan, "tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri".
Menurut Jokowi, pasal itu ada untuk melindungi presiden sebagai simbol negara. "Urusannya presiden sebagai simbol negara bukan pas saya saja kan, nantinya juga jangka panjang," ucap Jokowi. (Baca: Fadli Zon Curiga Jokowi Belum Baca Putusan MK soal Penghinaan Presiden)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.