Dengan prinsip tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), dan i'tidal (berkeadilan), NU mampu menyeimbangkan antara keislaman dan keindonesiaan. Meski Indonesia 87 persen dihuni oleh orang Islam dan tak menjadi negara Islam, kecintaan NU pada negara ini tak sedikit pun berkurang. Sikap kenegaraan seperti inilah yang memungkinkan Indonesia secara ideologi tetap stabil meski goncangan datang silih berganti. NU membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan bukanlah dua hal yang perlu dipertentangkan, melainkan bisa harmoni dan saling memperkuat. Hal tersebut bukan semata karena persoalan politik, melainkan paham keagamaan yang dikembangkan NU memungkinkan keduanya-keislaman dan keindonesiaan-bisa hidup bersama.
Dengan demikian, ulama pesantren tradisional telah mewariskan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. NU telah mampu menunjukkan diri sebagai rahmat bagi seluruh bangsa. Nilai-nilai perjuangan NU itu sudah saatnya diadopsi sebagai model keberislaman di berbagai belahan dunia. Dengan modal itu, sudah saatnya NU bersama seluruh eksponen bangsa mengubah orientasi keberislaman, tidak hanya bergumul dengan persoalan internal kebangsaan, tetapi juga bergerak maju untuk memengaruhi pergerakan peradaban dunia.
Rumadi Ahmad
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior The Wahid Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "NU, dari Nusantara untuk Dunia".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.