JAKARTA, KOMPAS - Sembilan bulan bisa jadi waktu yang terlalu singkat untuk menilai hasil kerja kabinet secara obyektif. Namun, penilaian dalam periode sembilan bulan pemerintahan Jokowi-Kalla ini mulai menegaskan pola apresiasi tertentu yang khas. Apresiasi terhadap kinerja kabinet cenderung lebih rendah daripada apresiasi terhadap sosok Presiden-Wakil Presiden.
Berbeda dengan apresiasi yang cukup terjaga dalam sembilan bulan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, nada yang lebih skeptis terungkap saat menilai kabinet pemerintah.
Ketika menilai pemerintahan secara umum dengan mengikutsertakan Jokowi-Kalla, apresiasi kepuasan mencapai 57 persen responden. Namun, saat pertanyaan dipusatkan pada kinerja Kabinet Kerja, apresiasi publik hanya 46,7 persen. Ketidakpuasan terhadap Kabinet Kerja terutama diutarakan responden berpendidikan menengah hingga tinggi serta pemilih parpol yang berada di luar pemerintahan.
Meski di bawah performa Presiden-Wakil Presiden, kepuasan responden terhadap Kabinet Kerja lebih tinggi ketimbang era Presiden sebelumnya. Tingkat ketidakpuasan pada penilaian sembilan bulan periode I dan II pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencapai 55,7 persen dan 56,6 persen.
Penilaian Kabinet Kerja yang saat ini masih terhitung seimbang itu menyiratkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, kabinet masih punya modal sosial yang cukup besar untuk memperbaiki program-program pembangunan dan layanan publik; tetapi juga menyimpan dorongan bagi pergantian menteri (reshuffle) yang dinilai kurang kapabel.
Namun, apakah perlu dilakukan reshuffle menteri? Pada April 2015, dua dari lima responden menyatakan tidak. Satu dari empat responden lainnya belum memberikan pendapat. Pada Juli 2015, ada pengurangan jumlah responden yang menolak berpendapat. Proporsi responden yang menolak perombakan kabinet masih sama. Namun, ada peningkatan suara pendukung pergantian menteri.
Persetujuan terhadap wacana perombakan kabinet lebih banyak datang dari pemilih parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Sebagian responden pendukung KMP yang pada survei April 2015 menolak reshuffle berubah pendapat menjadi setuju. Respons pemilih parpol anggota Koalisi Indonesia Hebat (KIH) cenderung menolak perombakan Kabinet Kerja. Apatisme ditunjukkan oleh responden yang belum menentukan pilihan parpol.