Ketiga, penyamaan Ambalat dengan pengalaman "kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan" adalah referensi yang keliru. Dalam kasus Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia sepakat menghentikan diplomasi dan memulai proses hukum dengan mengajukan perkara kepemilikan status Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan kepada Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag.
Keputusan ICJ terhadap kasus ini yang penting untuk diketahui adalah 1) penetapan tanggal kristalisasi sengketa, yaitu tahun 1969, sehingga hanya memperhitungkan penguasaan yang dilakukan sebelum 1969; 2) memutuskan sendiri dari bukti hukum bahwa Inggris sejak tahun 1914 telah menerapkan pajak pengambilan telur penyu di kedua pulau tersebut sehingga menunjukkan adanya penguasaan efektif oleh pemerintahan kolonial Inggris kala itu yang kemudian diteruskan Malaysia; dan 3) merujuk pada UU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang tidak memasukkan kedua pulau tersebut sebagai bagian dari NKRI. Dengan kata lain, Indonesia bukan kehilangan, melainkan gagal mendapatkan tambahan dua pulau baru.
Sementara permasalahan Blok Ambalat pada pokoknya merupakan persoalan delimitasi perbatasan maritim di Laut Sulawesi yang belum selesai dirundingkan antara Indonesia dan Malaysia. Di Laut Sulawesi ini, kedua negara masih perlu menetapkan segmen Laut Wilayah (kedaulatan) dan ZEE serta landas kontinen (hak berdaulat). Hukum nasional Indonesia dan Konvensi Hukum Laut Internasional PBB (UNCLOS 1982) mewajibkan Indonesia merundingkan batas-batas negaranya apabila berhadapan atau berimpitan dengan batas negara lain.
Keempat, perundingan penyelesaian batas maritim merupakan salah satu perundingan paling kompleks di dunia. Hal ini mengingat sifatnya yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, mulai hukum internasional, hubungan internasional, geografi, geologi, geodesi, hidrografi, oseanografi, kartografi, navigasi, dan kesejarahan. Di samping itu, perundingan semacam ini juga melibatkan berbagai instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok serta kepiawaian di bidang-bidang tersebut.
Indonesia telah berunding dengan Malaysia sebanyak 28 kali selama 2005-2015 untuk membahas penetapan batas maritim kedua negara di semua segmen, yaitu Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Sulawesi. Selama 10 tahun perundingan, masih terdapat perbedaan mendasar mengenai metode serta prinsip-prinsip hukum penarikan garis batas maritim.