Perdebatan atas ketentuan hukum pun tak juga membebaskan dari pragmatisme penggunaan polisi dalam ruang politik. Akibatnya, produk hukum yang lahir tak mencerminkan persoalan pada aras mana seharusnya kepolisian diletakkan dalam sistem ketatanegaraan, standar kerja, mandat, wewenang, dan prinsip etik kerja.
Menuju polisi sipil
Ada empat parameter untuk mendudukkan polisi sipil: (1) legitimasi (legitimacy); (2) fungsi (function); (3) struktur (structure); dan (4) budaya (culture). Parameter legitimasi mengacu dari mana sebaiknya polisi mendapatkan mandat kekuasaan dan kepada siapa seharusnya polisi bertanggung jawab. Parameter fungsi menunjukkan secara jelas dan tegas bagaimana polisi diperankan sebagai pengelola kamtibmas atau penegak hukum.
Parameter struktur menunjukkan bagaimana organisasi dan kekuasaan polisi diatur secara seimbang dalam bernegara. Parameter budaya menunjukkan bagaimana sikap perilaku polisi sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya di dalam masyarakat.
Menurut Farouk Muhammad (2004), polisi sipil (civilized police) adalah suatu konsep bukan institusi. Sebagai suatu konsep, polisi sipil mempersyaratkan sejumlah faktor sebagai indikator yang tidak mungkin bisa ditemukan dalam negara otoriter yang acap kali dipandang sebagai police state. Dengan landasan pemikiran ini polisi sipil memiliki ciri profesional dan akuntabel.
Prinsip profesional mengacu pada kemampuan: (1) menggunakan pengetahuan dan keahlian berdasarkan pendidikan dan latihan, (2) memberikan layanan keamanan terbaik, (3) otonom, (4) kontrol kuat di dalam organisasi, (5) mengembangkan profesinya melalui asosiasi, (6) memiliki kode etik, (7) memiliki kebanggaan profesi, (8) profesi polisi sebagai suatu pengabdian, dan (9) bertanggung jawab atas monopoli keahlian.
Adapun akuntabel ditandai oleh kesediaan polisi menerima pengawasan yang kuat atas kewenangan yang diberikan. Tiga elemen akuntabilitas yang harus diterapkan pada lembaga kepolisian: (1) answerability, kewajiban polisi untuk memberikan informasi dan penjelasan atas segala apa yang mereka lakukan kepada masyarakat, (2) enforcement, keberanian polisi menerapkan sanksi kepada pemegang kekuasaan jika mereka mangkir dari tugas-tugas negara/publik, (3) punishability, ketulusan polisi untuk menerima sanksi jika mereka terbukti melanggar code of conduct atau tindak pidana.
Dengan demikian, negara demokrasi membutuhkan polisi yang mampu berperan sebagai pengawal nilai-nilai sipil. Nilai-nilai itu dirumuskan dalam hak asasi manusia yang dijamin sebagai hukum positif (the guardian of civilian values). Dalam tugas, polisi mengedepankan pendekatan kemanusiaan yang secara luas dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility).
Dengan kata lain, polisi sipil adalah polisi yang beradab, bukan polisi yang sewenang-wenang. Pertimbangan tindakan polisi tidak semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kekuasaan yang dimiliki atau hukum positif semata, sekalipun pada hal-hal tertentu diperbolehkan. Penghargaan kepada masyarakat sebagai orang yang bermartabat adalah ciri utama bagi kinerja polisi sipil. Jadi polisi sipil merupakan wakil dari kepentingan masyarakat sipil, bukan wakil dari kepentingan elite politik tertentu. Meski lembaganya dibentuk melalui kebijakan politik, sikap perilakunya mengayomi semua pihak.