Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/07/2015, 15:02 WIB


Oleh: Azyumardi Azra

JAKARTA, KOMPAS - Tolikara, Papua, 1 Syawal 1436 H/17 Juli 2015. Kericuhan terjadi ketika massa Gereja Injili di Indonesia berusaha membubarkan jemaah Muslim yang tengah menjalankan ibadah shalat Idul Fitri. Bubarnya jemaah Muslim tanpa sempat menyelesaikan ibadah yang berbarengan dengan amukan api yang membakar puluhan kios dan sebuah masjid kembali menjadi noktah hitam dalam kedamaian dan harmoni intra dan antaragama di Indonesia.

Peristiwa Tolikara menambah rentetan kasus intoleransi keagamaan di Tanah Air, yang menurut pengamatan dan catatan sejumlah pihak cenderung meningkat dalam masa kebebasan demokrasi pasca Soeharto. Alam keterbukaan berekspresi—termasuk dalam kehidupan keagamaan—seolah menjadi kotak pandora yang mengungkap sisi gelap pemahaman dan praksis keagamaan di kalangan komunitas-komunitas keagamaan berbeda.

Meski kasus intoleransi bermotif agama, baik intra maupun antaragama, umumnya di Indonesia terpisah satu sama lain (isolated cases), bagi kalangan luar negeri yang mencermati dinamika agama dan sosial-politik Indonesia, kasus Tolikara memperkuat (mis)persepsi yang gebyah uyah bahwa umat beragama Indonesia semakin tidak toleran.

Penulis di berbagai forum internasional, misalnya di Parlemen Eropa, sering digugat tentang citra Indonesia sebagai negeri majemuk dengan hubungan intra dan antaragama terwujud baik, yang ditandai hidup berdampingan secara damai, toleran, dan harmonis. Mereka tetap skeptis dengan citra kerukunan umat beragama berbeda di Indonesia.

Karena itu, peristiwa Tolikara sepatutnya dijadikan renungan dan momentum untuk mengevaluasi kembali kecenderungan, gejala, dan dinamika kehidupan beragama di Indonesia. Sudah waktunya setiap dan seluruh mereka—pejabat publik dan pemimpin agama—tak merasa puas dengan tradisi kedamaian intra dan antaragama selama ini.

Dalam konteks evaluasi kehidupan beragama secara berani dan jujur, upaya ”menyederhanakan” atau ”menurunkan” (play down) kasus-kasus intoleransi keagamaan, seperti peristiwa Tolikara, dapat menjadi kontraproduktif. Hal itu penting karena sejak peristiwa memprihatinkan tersebut, kalangan pejabat tinggi republik ini cenderung melakukan play down terhadap gejala dan ungkapan intoleransi keagamaan.

Simaklah, misalnya, Presiden Joko Widodo yang menyatakan insiden Tolikara disebabkan kurangnya komunikasi di antara komunitas Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dan Muslim lokal. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebutkan, kasus Tolikara bukan masalah SARA, melainkan "ekspresi ketidakpuasan di antara kelompok masyarakat yang emosional". Tak lama kemudian, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menyatakan, kasus Tolikara merupakan aksi kriminal (daripada konflik keagamaan/religious hatred).

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com