Ini akan mendapat dukungan kuat di DPR karena sebagian besar anggota DPR memang berasal dari Jawa dan Sumatera. Kuatnya perjuangan dana aspirasi di DPR adalah gejala menguatnya politik dapil ini untuk kepentingan pemilu setiap lima tahun. Ketimpangan alokasi dana desa sebagaimana dipaparkan di atas adalah juga cerminan dari politik dapil untuk perhelatan politik lima tahunan dalam pemilu.
Kedua, selama indikator kinerja (KPI) birokrasi pemerintah adalah sekadar tingkat penyerapan dana APBN, maka birokrasi pemerintah akan memilih jalan pintas yang mudah untuk mencapai tingkat penyerapan anggaran yang tinggi. Jalan pintas itu adalah menggelontorkan sebagian terbesar program, kegiatan, dan dana serapan ke Jawa dan Indonesia barat yang lebih mudah terjangkau daripada bersusah-susah ke luar Jawa dan Indonesia timur yang susah terjangkau dengan segala fasilitas umumnya yang minim. Akibatnya, demi KPI yang tinggi, daerah dan desa yang dipilih tetap saja yang dekat dengan pusat pembangunan, yang pada akhirnya dapat saja semakin memperparah ketimpangan pembangunan antarwilayah Nusantara.
Akibat lebih lanjut, roh dari Nawacita ketiga mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah dalam kerangka negara kesatuan menjadi berantakan. Tentu kita berharap bukan itu yang terjadi. Mudah-mudahan cita-cita besar membangun dari pinggiran demi mengatasi ketimpangan pembangunan dalam kerangka NKRI tetap menjadi agenda utama kita demi kesatuan NKRI tercinta.
A Sonny Keraf
Pengajar pada Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Politik Ketimpangan".