Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Susahnya Melacak Aset Nazaruddin

Kompas.com - 21/07/2015, 17:09 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Sudah lebih dari tiga tahun sejak mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang terkait pembelian saham Garuda melalui Mandiri Sekuritas. Namun, hingga saat ini, kasus tersebut belum kunjung selesai penyidikannya.

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait pembelian saham Garuda pada Februari 2012. Hingga saat ini, KPK masih terus memanggil sejumlah saksi untuk diperiksa dalam kasus itu.

Sebenarnya apa yang membuat penyidikan TPPU Nazaruddin ini cukup lama? Apakah karena Nazaruddin sudah dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung setelah divonis korupsi dalam kasus wisma atlet SEA Games hingga KPK lalu santai mengusut kasus itu karena toh tersangkanya sudah dipenjara?

Memang Nazaruddin telah divonis tujuh tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dalam proyek wisma atlet. Dari kasus korupsi proyek wisma atlet ini, KPK menjerat Nazaruddin dengan delik TPPU. Namun, ternyata lamanya KPK mengusut Nazaruddin dalam perkara TPPU bukan karena dia sudah dipenjara.

Salah satu jaksa yang menangani perkara wisma atlet, Yudi Kristiana, menuturkan, KPK dibuat sibuk oleh banyaknya aset yang dikuasai Nazaruddin. Saking banyaknya aset tersebut, KPK harus hati-hati melakukan verifikasi. KPK harus memastikan, apakah aset tersebut memang dikuasai Nazaruddin dan diperoleh dari hasil korupsi. Ini karena dalam kasus TPPU sering kali seorang tersangka menyamarkan kepemilikan asetnya melalui orang lain, seperti kerabat, orang dekat hingga bawahannya.

Uang hasil kejahatan itu kemudian juga disamarkan asal usulnya melalui berbagai cara, seperti memecah ke sejumlah rekening, menstransfernya ke rekening lain, disimpan dalam valuta asing, hingga dipakai untuk membeli saham atau polis asuransi. Dalam TPPU, ini yang disebut layering pelapisan dalam menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan. Tujuan tindakan itu adalah agar pihak berwenang kesulitan melacak asal-usul dari harta yang diperoleh dari kejahatan.

Hal itu pula yang diduga dilakukan Nazaruddin. KPK menengarai, pembelian saham Garuda oleh Nazaruddin merupakan salah satu bentuk layering yang dilakukan setelah dia korupsi.

"Saya jadi tim penyelesaian untuk (kasus korupsi) Nazaruddin dan ada tindak lanjut yang tersisa dari kasus itu berupa TPPU. Saya masih jadi salah satu jaksa yang menangani perkara itu dan sekarang sedang memverifikasi aset yang di-TPPU-kan. Mengapa lama? Itu karena saking banyaknya, baik berupa tanah, rekening, rumah, hingga aset-aset perusahaan," ujar Yudi.

Saat ini, sebagian besar dari aset-aset tersebut sudah disita atau dibekukan jika dalam bentuk rekening di bank atau saham di pasar modal. Yudi tak bisa mengungkapkan nilai nominal aset-aset yang diduga dicuci oleh Nazaruddin. Namun, sebagai gambaran, nilai saham Garuda yang dibeli Nazaruddin, mencapai Rp 300 miliar.

Penyelenggara negara

Indonesia Corruption Watch pernah membeberkan data bagaimana Nazaruddin dengan Grup Permai-nya menguasai sejumlah proyek yang diduga diperoleh melalui cara yang korup. Dari fakta persidangan Nazaruddin terungkap, Grup Permai yang dia kendalikan memiliki 35 anak perusahaan. Indikasi nilai proyek yang terkait dengan Grup Permai mencapai Rp 6,037 triliun.

"Sekarang KPK sedang menyelesaikan verifikasi antara peristiwa pidana dan asetnya, antara kedudukan Nazaruddin sebagai anggota DPR dan asetnya baru dirunut," kata Yudi.

Penting bagi KPK melakukan verifikasi ini. Nazaruddin dijerat korupsi dalam posisi dia sebagai anggota DPR. Tentu saja, pencucian uang yang diduga dilakukan Nazaruddin terkait pula dengan jabatan dan kedudukannya sebagai penyelenggara negara.

Bisa saja ada aset yang diperoleh Nazaruddin sebelum dia menjadi penyelenggara negara dan bukan berasal dari kejahatan. Terhadap aset tersebut, penegak hukum tidak boleh membabi buta merampasnya. Namun, sebaliknya, jangan sampai juga aset-aset yang merupakan hasil korupsi tak bisa dirampas untuk negara. Ini yang kemudian dipilah-pilah oleh KPK dan karena saking banyaknya, butuh waktu bertahun-tahun.

"Banyak sekali, ratusan miliar, dan kalau rekening sudah diblokir, aset diblokir dan tim jaksa sudah ada kesepahaman dengan penyidik, baru ditindaklanjuti. Hal yang pasti, penanganan perkara sedang berjalan, tetapi karena menyangkut TPPU, baru diselesaikan terkait dengan asetnya. Aset perkara TPPU untuk tersangka Nazaruddin masih dalam tahap penyelesaian," kata Yudi.

KPK sebenarnya berjanji menyelesaikan kasus Nazaruddin sebelum periode kepemimpinan komisioner jilid ketiga ini berakhir pada Desember 2015. Janji ini sempat diungkapkan Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi SP. Selain itu, setelah diangkatnya tiga pelaksana tugas pimpinan KPK, setelah nonaktifnya Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai pimpinan KPK, komisi anti rasuah itu berjanji menyelesaikan tunggakan perkara korupsi yang tersisa. Kini, kita tunggu saja realisasi janji-janji tersebut. (KHAERUDIN)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2015, di halaman 5 dengan judul "Susahnya Melacak Aset Nazaruddin".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Ganjar Serahkan ke PDI-P soal Nama yang Bakal Maju Pilkada Jateng

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Ini Kata Ganjar

Nasional
Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Bertemu Calon-calon Kepala Daerah, Zulhas Minta Mereka Tiru Semangat Jokowi dan Prabowo

Nasional
7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

7 Jenis Obat-obatan yang Disarankan Dibawa Jamaah Haji Asal Indonesia

Nasional
Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Visa Terbit, 213.079 Jemaah Haji Indonesia Siap Berangkat 12 Mei

Nasional
Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Soal Usulan Yandri Susanto Jadi Menteri, Ketum PAN: Itu Hak Prerogatif Presiden

Nasional
Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Di Australia, TNI AU Bahas Latihan Bersama Angkatan Udara Jepang

Nasional
BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

BPK Buka Suara usai Auditornya Disebut Peras Kementan Rp 12 Miliar

Nasional
Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Chappy Hakim: Semua Garis Batas NKRI Punya Potensi Ancaman, Paling Kritis di Selat Malaka

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com