JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilu kepala daerah memberikan tantangan bagi masyarakat sipil untuk membangun iklim posisi tawar dengan para calon/kandidat.
"Sehingga (masyarakat) tidak hanya menjadi obyek, tetapi juga subyek dalam proses pemilihan kepala daerah nanti," kata Titi di Jakarta, Kamis (9/7/2015), seperti dikutip Antara.
Hal itu disampaikan Titi menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan syarat calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah tidak punya konflik kepentingan dengan petahana seperti diatur dalam Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. (Baca: MK: Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Melanggar Konstitusi)
Titi berpendapat, masyarakat sipil harus mengonsolidasikan diri untuk bisa melawan elite-elite maupun para keluarga dinasti yang akan berkompetisi pada pemilihan umum kepala daerah.
Titi berpandangan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian memiliki tugas untuk mengatur mekanisme pencalonan yang memberi ruang yang adil dan setara kepada setiap peserta pilkada dengan tetap menjalankan mandat dari putusan UU dan putusan MK.
KPU juga harus menjamin sebuah kompetisi yang jujur, adil, dan demokratis sebagai penyelenggara.
"Tetapi, kalau terjadi penyimpangan, Bawaslu yang harus mengawasi ini dengan cermat, menggunakan pembelajaran dari pilkada-pilkada sebelumnya agar tidak kecolongan praktik curang dari oknum atau pihak tertentu," ucap Titi.
Pascaputusan MK, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (3) UU HAM.
MK menilai Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada. Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. (Baca: Menurut MK, Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Diskriminasi dan Langgar HAM)
Dalam putusannya, MK tidak menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana punya berbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya. MK sepakat dengan pentingnya pembatasan agar keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya.
Namun, pembatasan harus ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yang dimaksud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.