Oleh: Budiarto Shambazy
JAKARTA, KOMPAS - Ibarat sepak bola, tim yang dipimpin Joko Widodo tampil cukup baik. Sekurangnya ada empat gol penting yang diciptakan.
Gol pertama ialah pembubaran Petral. Sebagian kalangan sejak awal tak menyangka bahwa Jokowi berani membubarkan anak perusahaan Pertamina yang selama bertahun-tahun tidak transparan dan tidak akuntabel itu. Tidak kurang dari Rp 250 miliar per hari bisa dihemat setelah Petral dibubarkan.
Gol kedua adalah demonstrasi mahasiswa 20 Mei yang berlangsung relatif aman. Ini, antara lain, berkat dialog Jokowi dengan para tokoh mahasiswa, mengulang yang pernah dilakukan juga oleh presiden kedua RI, Soeharto, beberapa hari menjelang pecahnya kerusuhan Malari, 15 Januari 1974.
Kita berharap dialog istana dengan mahasiswa tidak berhenti sampai hari-hari ini saja. Bagaimanapun, kritik dan gerakan mahasiswa yang murni tanpa ditunggangi diperlukan oleh pemerintah.
Gol ketiga terjadi saat Jokowi menunjuk sembilan perempuan sebagai anggota Pansel Pimpinan KPK. Tentu penunjukan perempuan- perempuan ini juga mengundang sejumlah interpretasi negatif. Namun, harus diakui, ia didukung berbagai kalangan yang merasakan napas baru dalam upaya pemberantasan korupsi.
Gol keempat adalah konsistensi Jokowi mendukung pembekuan PSSI oleh Menpora. Dalam tempo tak terlalu lama setelah pembekuan itu, di Amerika Serikat, Biro Investigasi Federal (FBI) membongkar kasus pencucian uang, pemerasan, dan penyuapan oleh sejumlah pejabat FIFA-tujuh orang di antaranya telah ditangkap.
Maka, pembekuan PSSI ibarat mendapat keabsahan seiring kasus dugaan korupsi di FIFA. Diharapkan, Tim Transisi segera merampungkan tugas dan kewenangan mereka sehingga pembekuan PSSI bisa dicabut dan kita memulai awal baru kebangkitan organisasi serta prestasi sepak bola nasional.
Meski untuk sementara mencetak empat gol, pertandingan belum berakhir. Tim Jokowi tidak sempurna karena masih memiliki berbagai titik lemah yang mesti dibenahi untuk bertahan sampai peluit akhir ditiup wasit masa pemerintahan berakhir.
Dan, sebagian titik lemah itu mulai tampak nyata di mata kita, para penonton. Mungkin, salah satu titik lemah tersebut adalah kekompakan Tim Jokowi, sebuah kesebelasan yang relatif terbilang yunior karena baru sekitar tujuh bulan bertanding.
Oleh karena itulah muncul desakan dari berbagai pihak agar Jokowi mengganti pemain alias merombak kabinetnya. Namun, di pihak lain ada mantra never change the winning team.
Kita tahu Jokowi lebih memilih merombak kabinet setelah bekerja selama satu tahun. Dan, suka atau tidak, masa satu tahun itu tepat dan telah mencukupi untuk menurunkan para pemain cadangan.
Perlukah Jokowi merombak kabinet sebelum satu tahun? Ya atau tidak bagi dia ini ibarat déjà vu yang pernah dia jalani sejak masa kampanye pilpres sampai pembentukan Kabinet Kerja pada Oktober 2014.
Pada rentang waktu itulah kita lihat dan saksikan semua tokoh kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berhiruk pikuk tentang "kabinet kerja", "kabinet ramping", "kabinet profesional", dan sebagainya. Pada akhirnya, suka atau tidak, yang terjadi hanyalah apa yang dinamakan dengan "kompromi politik".
Kompromi politik itu biasanya tak lepas dari negosiasi antartokoh dan antarpartai. Untuk kasus pilpres lalu, kompromi politik bahkan melibatkan kepentingan donatur dan relawan.
Tidak ada yang keliru dengan fenomena ini karena politik adalah juga ajang berkompromi. Masalahnya, kompromi baru yang akan dilakukan untuk merombak kabinet belum tentu akan membuat Kabinet Kerja yang lebih baik.
Kalaupun, toh, Jokowi akan merombak kabinet sebelum masa satu tahun, dia tentunya pertama-tama mesti mengakomodasi PDI-P sebagai partai yang mencalonkan dia sebagai presiden dan yang mengikat dia dengan Trisakti-Nawacita. Langkah ini pun belum tentu berjalan mulus karena bakal ada sanggahan dari partai-partai lain anggota KIH.
Dengan kata lain, perombakan kabinet sebelum atau pas masa setahun akan menimbulkan kegaduhan yang sesungguhnya tidak perlu. Namun, saya berani bertaruh, Jokowi sebagai kepala pemerintahan bakal mampu meredam ancaman kegaduhan tersebut.
Sebetulnya yang dibutuhkan Tim Jokowi saat ini bukan hanya sekadar perombakan kabinet, melainkan kritik. Masalah bangsa ini sudah menumpuk sejak Reformasi 1998 dan makin menumpuk selama 10 tahun terakhir.
Ibarat tim sepak bola, Tim Jokowi di lapangan "dikeroyok" oleh tim lawan, mungkin juga wasit, dan juga sebagian penonton yang merasa tidak menyaksikan pertandingan yang bermutu. Oleh karena itu, kita yang kurang puas dengan jalannya pertandingan, jangan ragu untuk memuji dan memaki selama tidak melempari batu atau membuat rusuh.
Media massa tidak perlu sungkan membeberkan perekonomian yang melambat, resapan anggaran yang masih sedikit, dan lain-lain melalui pemberitaan yang obyektif. Publik boleh saja mencaci maki di media sosial asalkan tidak sampai berurusan dengan aparat hukum karena melanggar UU ITE.
Politisi-politisi pun bisa buka mulut melalui media massa untuk mengkritisi pemerintah. Begitu pula dengan para akademisi atau surveyor, yang selalu mendapatkan tempat untuk menyampaikan kritik atau hasil jajak pendapat mengenai kinerja atau popularitas Jokowi.
Terpenting, Jokowi mendengarkan pula secara langsung keluhan rakyat kecil di kalangan bawah yang dia datangi dalam setiap kunjungan. Kita tentu boleh ramai-ramai tepuk tangan mendukung Tim Jokowi yang sedang berlaga di lapangan hijau. Mereka yang kecewa pun silakan berteriak "huuuuu..." atau cepat-cepat angkat kaki.
Aparat keamanan dan wasit pertandingan wajib tetap bertugas serta wajib menjaga agar pertandingan berlangsung sampai usai. Dengan begitu, maka kita bisa sama-sama berucap, "Selamatlah Indonesia kita!"
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015 dengan judul "'Pertandingan' Tim Jokowi".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.