Oleh: A Ponco Anggoro
JAKARTA, KOMPAS - Korupsi di pemerintahan daerah seperti tak pernah berhenti. Ini terkait upaya pencegahan korupsi yang setengah hati, baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Padahal, ke depan, dana yang akan dikelola oleh daerah kian besar.
Saat Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional 2015, akhir April lalu, Presiden Joko Widodo menjanjikan peningkatan transfer dana pusat ke daerah menjadi Rp 106 triliun. Jumlah ini lebih besar daripada transfer pada 2015 sebesar Rp 20,7 triliun.
Di satu sisi, peningkatan dana itu memunculkan asa, daerah akan semakin sejahtera. Namun, di sisi lain, muncul pandangan negatif bahwa korupsi akan kian marak di daerah.
Pandangan terakhir ini muncul karena dalam 10 tahun terakhir sudah banyak pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi. Sesuai data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlahnya mencapai 284 kepala/wakil kepala daerah, 3.169 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan 1.221 PNS di daerah.
Robert Klitgaard dalam bukunya, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, menyebutkan, korupsi terjadi karena ada monopoli kekuasaan, ditambah diskresi, minus akuntabilitas. Ini artinya, sistem pengawasan tak optimal. Akuntabilitas dan transparansi pun cuma isapan jempol.
Inspektorat sebagai aparat pengawas di setiap pemerintahan daerah, misalnya, kerap tidak bisa berbuat banyak karena posisi mereka masih subordinat dari kepala daerah. Selain itu, kapabilitas mayoritas inspektorat masih lemah dan jumlah auditor masih jauh dari kebutuhan (Kompas, 26 Maret 2015).
Deputi Keuangan Daerah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Dadang Kurnia mengatakan, BPKP telah berupaya memperkuat inspektorat dengan berbagai cara. Mulai dari pelatihan, audit bersama dengan BPKP, hingga menempatkan pegawai BPKP di sejumlah pemda. Saat ini jumlahnya sekitar 330 orang.
Namun, tetap saja, pada akhirnya kekuatan inspektorat sangat bergantung pada sejauh mana komitmen pemerintah pusat dan kepala daerah mencegah korupsi di daerah. Pasalnya, di tangan pusat dan kepala daerah, inspektorat bisa independen dan profesional. Di tangan pusat pula, jumlah auditor bisa ditambah dan bukannya menghentikan penambahannya sebagai imbas dari kebijakan moratorium PNS.
Tak hanya pengawasan yang lemah, transparansi dan akuntabilitas juga sering diabaikan. Ini terlihat pada sistem penganggaran, pengadaan barang/jasa, dan perizinan. "Padahal, itu semua celah korupsi besar di daerah," kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng.
Sebagai contoh, sistem penganggaran secara elektronik yang bisa menutup celah korupsi anggaran belum berjalan optimal di semua daerah. Padahal, dengan sistem itu, anggaran siluman di APBD bisa dicegah. Kasus terakhir terjadi pada APBD DKI Jakarta.
Begitu pula sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik yang belum maksimal dimanfaatkan. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Agus Raharjo mencontohkan, nilai transaksi barang dan jasa dengan sistem lelang elektronik pada 2014 hanya Rp 303 triliun dari potensi belanja Rp 815 triliun. Selain itu, masih ada 36 pemerintah daerah yang belum juga menerapkan sistem tersebut.
Penerapan sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang bisa mencegah penyimpangan dalam perizinan juga belum optimal.
Berdasarkan data Kemendagri, hingga Februari 2015, masih ada 44 pemerintah kabupaten/kota yang belum menerapkan sistem itu. Namun, bagi pemda yang sudah menerapkan, PTSP belum dijadikan tempat bagi semua perizinan. Masih ada 6 pemerintah provinsi, 115 kabupaten, dan 22 kota yang belum mendelegasikan seluruh kewenangan perizinan ke PTSP.
Di Kabupaten Karawang, misalnya. PTSP sudah dibentuk oleh pemda. Namun, kepala daerah masih berperan besar dalam memutuskan keluarnya perizinan. Saat Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Bupati Karawang Ade Swara, 17 Juli 2014, Ade menerima suap terkait penerbitan surat persetujuan pemanfaatan ruang untuk proyek superblok yang akan dibangun PT Tatar Kertabumi.