JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Pelayanan Hukum Ikatan Alumni ITB, Ali Nurdin, mempertanyakan alasan kuat di balik enggannya Komisi Pemberantasan Korupsi mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan praperadilan yang digugat Komjen Budi Gunawan. Hasil sidang yang diputuskan hakim Sarpin Rizaldi itu menyatakan bahwa penetapan Budi sebagai tersangka oleh KPK tidak sah.
"Apa ruginya melakukan PK? Pasti ada kompromi ini. Kalau ada deal-deal, bagaimana penegakan hukum di Indonesia?" ujar Ali dalam diskusi di Jakarta, Kamis (24/4/2015) malam.
Mantan staf ahli di Komisi Yudisial ini mengatakan, putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap pun bisa dilakukan upaya hukum luar biasa tersebut. Menurut Ali, semestinya KPK jangan terpengaruh wacana yang menyebut bahwa Mahkamah Agung akan menolak PK yang diajukan KPK.
"Apa ruginya? Kalau MA menolak ya urusan nanti. Tapi ngapain datang ke MA hanya untuk tanya bisa ajukan atau tidak?" kata Ali.
Ali mengatakan, para hakim agung tentunya memiliki pertimbangan setelah dilakukan sidang, apakah PK yang diajukan tersebut akan diterima atau tidak. Jika ternyata diterima, ia meyakini kontroversi yang ditimbulkan akibat putusan Sarpin dapat diselesaikan.
"Pimpinan KPK harus jelaskan ke publik kenapa tak ajukan PK. PK satu-satumya cara untuk selesaikan karut-marut ini," kata Ali.
KPK telah secara resmi telah melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Langkah itu dilakukan setelah Pimpinan KPK mengaku kalah menyikapi putusan praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi yang menyatakan penetapan tersangka Budi tidak sah. KPK dianggap tidak berwenang mengusut kasus itu. Belakangan, Kejagung melimpahkan penyelidikan kasus tersebut ke Badan Reserse Kriminal Polri.
Budi merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian. KPK pun "kebanjiran" dukungan agar melakukan upaya hukum luar biasa, yaitu dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
PK diharapkan dapat meluruskan putusan Sarpin sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi. Namun, MA menunjukkan sinyalemen bahwa pengajuan PK oleh KPK akan ditolak.
Juru bicara MA, Hakim Agung Suhadi, mengatakan bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau hak warisnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Pernyataan Suhadi ditentang oleh Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri. Menurut dia, majelis hakim baru dapat memutuskan apakah permohonan ditolak atau diterima setelah masuk ke tahap persidangan.
"Ya, tetap harus diterima. Itu potensi masuk ke majelis pengadilan. Tidak boleh memutus sebelum putusan," kata Taufiq.
Ketua sementara KPK Taufiequrahman Ruki berkeyakinan bahwa KPK tidak berwenang mengajukan PK. Menurut dia, domain praperadilan terletak pada hukum acara pidana, sedangkan PK pada hukum pidana materi. "Karena itu, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya," kata Ruki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.