"Padahal, jika disahkan tahun ini, kerja pemerintah hingga tahun 2019 akan banyak terbantu. Inspektorat bisa mengawasi dan mengevaluasi setiap kebijakan Presiden, terutama jalannya di daerah. Selain itu, keinginan Presiden mencegah korupsi bisa lebih nyata," ujar Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng.
Karena RUU SPIP belum disahkan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi lalu merumuskan rancangan Instruksi Presiden tentang Revitalisasi Peran dan Fungsi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah.
Dalam rancangan inpres itu, inspektorat tidak berdiri sendiri seperti diusulkan dalam RUU SPIP. Tim penyusun sadar tidak mungkin inpres bisa mengubah aturan yang lebih tinggi, yaitu sejumlah undang-undang, yang telah memosisikan inspektorat di bawah menteri/kepala lembaga dan kepala daerah.
Meski demikian, melalui inpres, tim penyusun mencoba cara lain agar penguatan inspektorat tetap bisa dicapai. Di antaranya, untuk meningkatkan kapasitas dan profesionalisme, kepala inspektorat atau disebut inspektur jenderal/inspektur utama/inspektur harus memiliki sertifikasi khusus. Selain itu, semua aparat pengawasan di inspektorat harus memiliki sertifikasi fungsional auditor. Setiap inspektorat juga harus melaporkan secara berkala upaya-upaya penguatan peran dan fungsi yang telah dilakukan BPKP. Namun, sejak dibahas akhir tahun lalu, kelanjutan rancangan inpres ini pun belum jelas.
Saat bersamaan, Presiden justru mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem Pengendalian Intern dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, 31 Desember 2014.
Melalui inpres itu, Presiden juga menyinggung perlunya peran aparat pengawasan intern pemerintah, seperti inspektorat, diintensifkan untuk meningkatkan kualitas, transparansi, akuntabilitas, dan mencegah korupsi. Namun, bagaimana caranya, Presiden tidak menjelaskan.
Sementara BPKP dalam Inpres No 9/2014 diberi tugas lebih detail oleh Presiden untuk melakukan pengawasan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara/daerah serta efisiensi dan efektivitas anggaran pengeluaran negara/daerah.
Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, dalam kerangka pencegahan korupsi, BPKP tidak bisa bekerja sendiri. Peran inspektorat juga penting. Terlebih inspektorat tersebar di setiap instansi pemerintah, tidak seperti BPKP yang posisinya hanya di ibu kota provinsi. "Bahkan, peran pengawasan dan pencegahan korupsi akan lebih kuat dan efisien jika kedua lembaga ini dilebur," tambahnya.
Deputi Keuangan Daerah BPKP Dadang Kurnia juga mengatakan, penguatan kapasitas inspektorat seperti tertuang dalam rancangan inpres ataupun RUU SPIP yang disusun Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi penting dalam kerangka pencegahan korupsi.
"Inpres No 192/2014 (tentang BPKP) dan Inpres No 9/2014 yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo memang meminta BPKP meningkatkan kapasitas inspektorat dan membangun sinergi dengan inspektorat. Namun, penguatan inspektorat akan lebih maksimal jika rancangan inpres dan RUU SPIP itu sudah berlaku. Satu keunggulan inspektorat, mereka setiap saat bisa mengawasi instansi pemerintah, tidak seperti BPKP," katanya.
Satu hal lain yang perlu dibenahi, hubungan antarlembaga pengawas seperti inspektorat, BPKP, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, belum adanya cetak biru pengawasan membuat tugas antarlembaga pengawas kerap tumpang tindih. Alhasil, pengawasan tidak efisien.
* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Kamis (26/3/2015)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.